MENGGAIRAHKAN KEMBALI WAYANG SASAK Oleh Slamet Hadi Purnomo

id

MENGGAIRAHKAN KEMBALI WAYANG SASAK Oleh Slamet Hadi Purnomo

     Alunan gamelan  menggema.  Suara ceng-ceng, suling dan kendang , menyatu dalam harmoni yang merdu.  Bilah-bilah wayang yang tertata rapi, beberapa diantaranya dicabut sang dalang dari tancapannya.  Bilah "gunungan" pun bergerak mengawali pergelaran. Beberapa saat kemudian  diikuti  dialog antar tokoh yang meluncur lepas selaras adegan-adegannya dan  diakhiri dengan tancap kayon.
     Pergelaran wayang Sasak di komplek Pasar Seni kawasan pantai Senggigi, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), kali ini memang cukup istimewa.  Alasannya, pergelaran wayang Sasak yang selama ini tidak mudah lagi ditemui,  kini secara terjadwal dipentaskan di tempat itu.  
    Pergelaran wayang Sasak yang biasanya hanya dipentaskan saat masyarakat melangsungkan upacara khitanan, pernikahan maupun acara-acara lainnya, kini digelar di kawasan wisata Pantai Senggigi, kawasan yang banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara.
     Karena itu,  cukup beralasan jika pementasan malam tersebut seperti oase, menggelora. "Sabetan"  sang dalang yang begitu mahir memainkan bilah-bilah wayang dengan rancak serta semangat para penabuh gamelan yang mengiringi, seperti menggambarkan luapan berkesenian yang lama tak tersalurkan dengan baik.
      Kelangsungan berkesenian wayang Sasak  di Lombok diakui banyak pihak  dalam beberapa waktu belakangan ini memang meredup.  Wayang Sasak pernah mengalami masa keemasan antara tahun 1960 hingga 1970-an.  Wayang Sasak pada masa itu sangat populer di masyarakat Pulau Lombok.
     Kegelisahan tantang semakin suramnya wayang Sasak tersebut dirasakan sejumlah kalangan, diantaranya para sesepuh dalang wayang Sasak seperti HL Nasib AR dari Kampung Perigi, Gerung, Lombok Barat. Pria yang sudah mulai mendalang sejak 1957 ini merasa prihatin dengan keberadaan wayang Sasak saat ini.
       Meski masih ada, tapi pementasan wayang Sasak kini intensitasnya jauh menurun.  Pergelaran wayang Sasak saat ini bisa jadi hanya  bisa ditemui pada acara-acara tertentu seperti perayaan maulid nabi, gawe adat, dan lain-lain. Itupun tidak sering dan tidak pasti.
       Jika tidak ada upaya serius , bukan tidak mungkin dalam beberapa waktu kedepan banyolan Amaq Baok, Inaq Litet, Ocong,  Jero Dangkem, dan Keseq (nama-nama dalam wayang Sasak)  oleh para dalang wayang Sasak, akan menjadi pertunjukan langka, kendati kesenian itu sendiri telah memberikan kontribusi penting dalam perkembangan budaya di Lombok.
      Tantangan yang dihadapi dunia pewayangan di Lombok saat ini  cukup kompleks, diantaranya adalah masalah proses regenerasi yang  tidak mudah, pengenalan wayang Sasak kepada masyarakat, khususnya melalui sekolah-sekolah,  juga sangat kurang.         
      Karena itu,  Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) NTB  sangat merindukan berdirinya sekolah karawitan Sasak yang didalamnya mengajarkan mengenai pewayangan Sasak, sehingga keberadaan wayang Sasak semakin dekat dengan masyarakat, utamanya generasi muda.

Butuh Komitmen

      Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi NTB, Lalu Gita Aryadi, mengakui bahwa NTB, khususnya di Pulau Lombok , memiliki khazanah seni budaya dan tradisi yang beraneka ragam.  Untuk menjaga kelestariannya dibutuhkan komitmen yang kuat semua pihak, utamanya para pemangku kepentingan, agar kekayaan seni budaya dan tradisi ini tidak  menjadi lembaran sejarah masa lalu.
     "Memang, butuh perhatian, pembinaan dan pemberdayaan," katanya seraya menjelaskan bahwa untuk itu      
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bersama Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) NTB berusaha mewadahi aktivitas berkesenian, khususnya pergelaran wayang Sasak, diantaranya pementasan di Pasar Seni Senggigi,  sebulan sekali pada akhir pekan.
       Menurut dia, tidak hanya itu saja. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga mengarahkan agar kehidupan berkesenian terus bergairah, diantaranya dengan mengemas potensi seni budaya dan tradisi yang ada dalam suatu event. Apalagi NTB sebagai daerah tujuan wisata telah mencanangkan program Visit Lombok Sumbawa 2012.
     Ia mencontohkan,   dalam dua bulan kedepan di NTB  akan menggelar berbagai atraksi seni budaya dan tradisi diantaranya adalah Festival Kuda Bima (3-12 Juli), Festival Lakey (14 Juli), Presean (19 Juni), Festival Mutiara Lombok (8-11 Juli), Festival Senggigi (14 Juli) , dan Lombok Bagendang (24 Juli ).
     Wayang kulit Sasak merupakan kesenian wayang yang tumbuh di kalangan suku Sasak di Pulau Lombok,  NTB, sudah sejak lama. Pertunjukan dan wujud wayang  Sasak mirip dengan wayang kulit di  Jawa. Faktor yang membedakan "jagad pakeliran" di Jawa dan di Lombok barangkali adalah cerita-cerita yang dibawakan dan perangkat gamelannya.
     Cerita-cerita Wayang Sasak mengambil cerita menak (Serat Menak), yakni cerita dengan tokoh utama Wong Agung Menak, tidak seperti wayang kulit di Jawa yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana.  Meski begitu, kelampan (cerita) wayang kulit Sasak bisa jadi sama dengan wayang golek di Jawa yang juga bersumber dari cerita Menak.
     Sedangkan gamelan yang  mengiringi pertunjukan wayang Sasak jauh lebih sedikit ketimbang pergelaran wayang kulit di Jawa.   Jika dalam pergelaran wayang kulit di Jawa mengenal gamelan-gamelan berupa kendang, kenong dan kethuk, bonang, saron, gender, gambang, kempul dan gong, rebab, siter, suling  dan slenthem, sementara gamelan yang menyertai pementasan wayang Sasak tidak sebanyak itu, diantaranya ceng-ceng, suling,  tawa-tawa, kendang, pleret, dan kempul.
    Dengan sedikitnya gamelan dalam kesenian wayang Sasak, maka  jumlah penabuh gamelannya (atau niyogo dalam kesenian wayang di Jawa) juga jauh lebih sedikit dibandingkan wayang di Jawa.  Jika dalam wayang  di Jawa mengenal penyanyi wanita yang disebut pesinden dan penyanyi pria yang disebut wira swara, dalam wayang Sasak peran itu diambil oleh dalang yang sekaligus sebagai dirigen.
  
  Oleh sebab itu, pertunjukan wayang Sasak ada yang mengkatagorikan sebagai seni pertunjukan teater minimalis.  Untuk sebuah pertunjukan wayang Sasak, hanya dibutuhkan sekitar 10 personil, terdiri dari seorang dalang,  dua orang pembantu dalang untuk menata wayang ( pengabih atau pengawit)  serta  tujuh orang penabuh gamelan.
       Pengamat wayang Sasak Ki Sadarudin mengemukakan bahwa wayang Sasak dan wayang kulit di Jawa memang banyak kemiripan. Cerita wayang di Lombok mengambil cerita Menak yang berasal dari Persia yang masuk ke Indonesia melalui tanah Melayu kemudian masuk ke Jawa dan tersebar sampai ke Lombok.                                 Cerita-cerita Menak tersebut ditulis di daun lontar dalam bahasa Jawa dengan huruf Jejawan (huruf Sasak). Cerita ini ditulis sesuai dengan peristiwanya seperti Bangbari, Gendit Birayung, Bidara Kawitan, Selandir, Dewi Rengganis dan lain sebagainya.
        Sementara adegan dalam pergelaran wayang Sasak dibagi menjadi lima bagian utama, yakni pembuka atau pengaksama yang berisi  permintaan maaf kepada penonton apabila dalam mendalang sang dalang beserta pengiringnya membuat kesalahan.
      Adegan berikutnya adalah kabar yang menceritakan kisah sebelun ada alam raya dan hanya ada Sang Pencipta, adegan ketiga ucapan yang memaparkan lakon yang dibawakan, sedangkan adegan keempat yakni lelampan atau jalannya cerita serta ditutup dengan adegan bejanggeran.
      Adegan demi adegan biasanya diiringi dengan gending (lagu) yang selaras dengan suasananya.  Contoh, gending selutur untuk adegan mengeluarkan wayang pertama, rangsang atau rangsangan sebagai pembuka setelah "pemeras" (upacara sesaji) dan juga untuk menandai perang atau huru hara, baten atau batel sebagai iringan wayang berjalan, cirbon serta balik rondon untuk mengiringi raksasa, janggelan prabu untuk mengiringi raja dan kaderan untuk mengiringi tokoh Umar Maya.

Tuntunan  

      Terlepas dari kemiripan-kemiripan yang ada pada wayang Sasak dengan wayang di Jawa,  pergelaran wayang Sasak yang menyajikan cerita Menak, sarat dengan petuah dan tuntunan. Karena itu, cukup beralasan kalau dalang yang memainkan wayang, dianggap orang yang mumpuni.
     Bahkan, dalam bahasa Jawa, ada ungkapan dalam  "jarwo dhosok"   untuk dalang,  yakni ngudal piwulang yang berarti membeberkan ilmu,  memberikan pencerahan kepada para penonton.  Untuk itu, seorang dalang harus mempunyai bekal keilmuan yang banyak, sehingga ketika membangun  cerita bisa menyesuaikan dengan nilai-nilai kekinian di masyarakat.
     Barangkali banyak pihak sepakat bahwa dalam cerita pewayangan, ada tuntunan kehidupan yang bisa dipetik, diantaranya adalah adanya gambaran tentang baik dan buruk, yang hak dan yang batil, ataupun kejahatan dan kebajikan.
     Karena itu, dalam pergelaran wayang di Jawa, pada akhir pementasan, dalang biasa mengungkapkan falsafah "suradira jayaningrat lebur dening pangastuti", artinya betapapun sakti dan besar kekuasaanya, tetapi bila untuk tujuan yang tidak benar, tidak adil dan angkara murka, pasti akan sirna oleh budi luhur.
     "Kita berharap, pertunjukan wayang Sasak dan juga seni budaya dan tradisi yang ada, tidak sekedar sebagai tontonan, tapi juga sebagai tuntunan sehingga masyarakat lebih mengerti tatanan kehidupan. Kami berharap keberadaan wayang Sasak tetap lestari," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB, Lalu Gita Aryadi.
      Apalagi, kekosongan kursi Ketua Pepadi NTB  sejak meninggalnya Lalu Emi Suhaimi, kini telah terisi. Dalam pemilihan di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB, pada 16 April lalu, HL Anggawa Nuraksi terpilih sebagai Ketua Pepadi NTB.
      Dengan terpilihnya Ketua Pepadi yang baru itu semua agenda yang tertunda, diharapkan bisa dilanjutkan  guna menunjang terpeliharanya eksistensi wayang Sasak.
    Program jangka pendek yang diusung  Pepadi NTB ialah menyiapkan diri untuk mengikuti Festival Wayang untuk dalang cilik di Jakarta pada Juli mendatang.  Festival tersebut diharapkan juga dapat menjadi awal bagi proses regenerasi dalang wayang Sasak.  Data Pepadi pada 2004 hanya terdapat sekitar 45 dalang di NTB.
     Selain itu, tentu perlu upaya serius dan  berkesinambungan untuk merevitalisasi institusi kesenian yang ada. Lembaga atau institusi kesenian bisa bersinergi dengan baik agar bisa menjawab kegelisahan para dalang dan peminat wayang Sasak di Pulau Lombok. Kelesuan diharapkan berubah menjadi kegairahan.  Seni pertunjukan  sebagai penyampai nilai-nilai kehidupan ini,  akan terus mewarnai denyut nadi perkembangnya seni budaya dan tradisi di NTB,  khususnya Pulau Lombok. (*) (FOTO: Istimewa)