SAUDI ARABIA DEPORTASI 23.644 WNI

id

Jeddah, 23/12 (ANTARA) - Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia sejak Januari hingga Desember 2008 telah mendeportasi sebanyak 23.644 warga Indonesia ke tanah air dan sebagian di antara mereka adalah tenaga kerja wanita (TKW).

Konsul Jendral RI di Jeddah, Gatot Abdullah Mansyur di Jeddah, Selasa, mengakui bahwa di antara mereka yang dideportasi itu kebanyakan tak punya dokumen keimigrasian, seperti paspor dan identias lainnya sehingga kepulangannya menggunakan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP).

Ia mengaku prihatin bahwa warga Indonesia yang masuk ke Saudi Arabia kebanyakan secara ilegal. Ada pula yang bertolak ke tanah suci hanya bermodalkan visa umroh. Kemudian bertahan hingga musim haji tiba sehingga yang bersangkutan harus bermain "kucing-kucingan" dengan petugas setempat selama berada di negeri itu.

Mereka yang dideportasi itu kebanyakan visanya umrohnya sudah habis dan tak berlaku lagi alias over stay. Usai musim haji dan karena tak dapat pekerjaan, mereka ini berusaha untuk ditangkap petugas dengan cara bermukim di kolong jembatan Syarif Mansyur (Mekkah) dan Al Kandora (Jeddah).

Harapannya, setelah ditangkap dapat dipulangkan secara gratis atas biaya pemerintah Arab Saudi. "Ini kan memalukan, setiap tahun angka pemulangan secara paksa masih tinggi," ia menjelaskan.

Tahun lalu warga Indonesia yang dideportasi sebanyak 24.840 orang. Jika dibandingkan hingga Desember 2008, ia mengakui ada penurunan. Namun tak terlalu signifikan. Dan, untuk meneliminir warga RI masuk secara ilegal ke Saudi Arabia, pihak Konjen RI sudah melakukan sosialisasi betapa bahayanya tinggal di negeri itu tanpa identitas jelas.

Repotnya, ketika terjadi pristiwa kriminal yang melibatkan warga Indonesia. Jika ada orang yang sudah diputuskan bersalah dan oleh pengadilan setempat harus dihukuman pancung, maka harus ada upaya dari pihak Konjen RI jangan sampai hukuman berat itu dapat diberlakukan.

Gatot mengaku selama 2008 ini sudah mendatangi "kantong-kantong" tenaga kerja di tanah air. Sambil melakukan sosialisasi bagaimana menjadi warga yang baik di negeri orang. Harapannya, tentu, angka warga RI yang masuk secara ilegal ke Saudi Arabia dapat diperkecil. Syukur jika mereka datang punya keterampilan/keahlian dan bekerja secara resmi.

Selama 2008, warga RI yang dipulangkan ke tanah air, kebanyakan berasal dari Jawa Barat sebanyak 7.490 orang, Jawa Timur (5.578), Nusa Tenggara Barat (1.749), Jawa Tengah (1.009), Kalimantan Selatan (1.066), Banten (1.006) dan lain-lain 1.639 orang.

Ia menjelaskan, warga RI yang over stayer di Arab Saudi sangat rentan terhadap penipuan. Tatkala mereka bekerja di suatu tempat, kerap diperas majikan. Dan ketika berhadapan dengan masalah hukum, sulit sekali dilakukan pembelaan. "Di sini, warga yang meninggal tanpa identias kebanyakan tak diurus hingga penguburannya," katanya.

Beberapa tahun silam, ada warga dengan ciri Indonesia, mayatnya dibuang di pintu gerbang kantor KJRI. Kantor KJRI pun pernah didemo oleh warga RI ilegal di Jeddah. "Ketika itu mereka minta dikembalikan ke tanah air secara gratis. Kita tak punya uang," ia menjelaskan.

Terkait dengan pemulangan warga RI hasil penyisiran (sweeping) pihak berwajib setempat, menurut Gatot, seluruh biaya pemulangannya ditanggung pemerintah setempat. "Mereka itu naik pesawat atas biaya pemerintah Arab Saudi," katanya.

Kendati mereka dapat pulang secara gratis, namun proses hukum tetap dilakukan. "Mereka diperiksa. Jika ketahuan melakukan perbuatan kriminal, tetap saja harus diproses lebih lanjut. Namun bila hanya melanggar izin tinggal lebih dan semata karena untuk mendapatkan haji, pemerintah setempat memberi keringanan," ia menceritakan.

Ia mengaku bahwa persoalan tenaga kerja di negeri itu cukup kompleks. Tenaga kerja legal bisa mendapatkan 800 riyal. Namun bagi tenaga kerja ilegal bisa mencapai 1200 riyal per bulan. Adanya perbedaan angka gaji ini mendorong tenaga kerja resmi lari dari majikan dan mencari kerja secara ilegal. Ada yang beruntung tak diperas majikan. Ada pula jadi korban kekerasan pada majikan baru.

Hal ini, kata Konjen RI itu, harus ditertibkan. Namun hal itu tak mudah karena menyangkut rezeki para kafil (bapak angkat/penjamin/sponsor) dari para tenaga kerja.(*)