TIGA INSTRUKTUR PENERBANG ASING AKAN GUGAT LIFT

id

     Mataram, 28/1 (ANTARA) - Tiga orang orang instruktur penerbang asing yang berasal dari Inggris, Spanyol dan Jerman, akan menggugat manajemen Lombok Institute Flaying Teknologi (LIFT) yang memecat mereka secara sepihak.

     "Materi gugatan sedang disiapkan, gugatannya secara perdata dan pidana," kata I Gede Sukarmo, penasehat hukum ketiga warga asing yang berprofesi instruktur penerbang itu, di Mataram, Senin.

     Ketiga instruktur itu yakni Mattew Coeen (39) asal Inggris selaku instruktur kepala, dan dua orang anak buahnya masing-masing Victor Cobo (28) asal Spanyol, dan Selvia Staudinger (31) asal Jerman.

     Sukarmo mengatakan, ketiga kliennya itu dipecat oleh manajemen LIFT pada 12 Desember 2012 dan keesokan harinya diusir oleh pengelola Holiday Resort tempat mereka menginap, dengan alasan perusahaan LIFT tidak lagi membiayai penginapan tersebut.

     Padahal kontrak kerja sebagai instruktur penerbang di LIFT untuk Mattew sampai Juni 2013, Victor sampai Mei 2013, dan untuk Selvia sampai April 2013.

     "Ada perilaku penelantaran pekerja asing sehingga mengakibatkan kerugian dan itu yang menjadi meteri gugatan perdata. Nilai gugatan material mencapai Rp1 miliar," ujarnya.

     Sedangkan materi laporan tindak pidana berupa perbuatan tidak menyenangkan karena ada pemutusan hubungan kerja sebelum kontrak berakhir, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

     Dalam surat pemecatan ketiga instruktur penerbang itu, disebutkan ketiganya dikategori tidak displin atau indisipliner karena menolak melaksanakan perintah perusahaan pelatihan calon penerbang itu.

     Sejak 7 Desember 2012 ketika instruktur penerbang itu menolak menerbangkan pesawat latih jenis Liberty XL2, sebanyak tiga unit, masing-masing instruktur satu unit.

     Versi instruktur penerbang itu, pesawat tersebut sudah tidak layak diterbangkan pada ketinggian 2.000 kaki karena telah terjadi penurunan kondisi dan kemampuan pesawat.

     Telah beberapa kali dicoba, namun para instruktur penerbang itu harus menurunkan ketinggian hingga 500 kaki, namun hal itu berbahaya bagi keselamatan penerbang.

     "Karena kondisi pesawat tidak layak lagi, bahkan, menurut mereka di tempat pelatihan lain sudah tidak menggunakan pesawat latih jenis itu, sehingga mereka memilih menolak menerbangkan pesawat tersebut untuk kebutuhan pelatihan di LIFT, hingga dipecat," ujar Sukarmo.

     Sukarmo berencana akan melayangkan gugatan perdata, sekaligus laporan tindak pidana itu ke Polda NTB untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

     "Segera setelah rampung materinya, ini negara hukum sehingga siapa yang yang merasa dirugikan patut mengedepankan ketentuan hukum," ujar Sukarmo yang didampingi Mattew dan Victor.

     LIFT merupakan salah satu bentuk usaha Penanaman Modal Asing (PMA) yang kepemilikan sahamnya sebanyak 51 persen milik pengusaha Indonesia dan 49 persen milik konsorsium pengusaha Hongkong yakni Castel Mark Limited.

     Manajemen LIFT mengantongi Surat Izin Usaha Penerbangan (SIUP) dari Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, dan sertifikat operasional dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKU-PPU) Kementerian Perhubungan.

     LIFT resmi beroperasi di wilayah NTB sejak November 2010, yang berkantor di Jl Sucipto Kecamatan Selaparang, Kota Mataram, atau di bekas Bandar Udara Selaparang Mataram.

     Manajemen LIFT telah memiliki beberapa orang siswa calon penerbang. Setiap calon siswa penerbangan diharuskan membayar biaya sekolah sebesar 66 ribu dolar AS atau setara dengan sekitar Rp500 juta. (*)