Mataram, 30/1 (ANTARA) - Forum Pembela Adat dan Budaya Sasak (Pedas) mengagendakan sarasehan tentang kriminalitas hukum adat dan agama, di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), guna menampung berbagai pemikiran terkait kearifan lokal dalam penyelenggaraan pembangunan.
"Sarasehan tentang kriminalitas hukum adat dan agama itu akan digelar dalam waktu dekat ini," kata Koordinator Forum "Pedas" H Lalu Anggawa Nuraksi, kepada wartawan di Mataram, Rabu.
Ia mengatakan, dasar pemikiran hendak dilaksanakan sarasehan tentang kriminalitas hukum adat dan agama itu antara lain melemahnya kearifan lokal dan norma adat yang antara lain akibat dikriminalisasi oleh pihak tertentu.
Ia mencontohkan budaya menikah yang sudah menjadi bagian dari kekayaan budaya yang unik bagi Suku Sasak yakni "selarian" atau "merari" yakni perbuatan membawa lari perempuan untuk dinikahi, namun tradisi adat itu malah dibawa ke ranah hukum, sehingga mencuat anggapan tradisi adat itu dikriminalisasi.
Contoh lainnya yakni mengambil buah-buahan dari pohon milik orang lain untuk dimakan, yang dimaknai dalam tradisi adat sebagai perbuatan yang biasa dan bernuansa kekeluargaan, malah digiring ke ranah hukum.
"Karena itu perlu digelar sarasehan atau seminar tentang kriminalisasi adat dan agama itu agar ada upaya mengedepankan kearifan lokal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Anggawa yang masih menjabat Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Mataram setelah perpanjangan masa bhakti sebagai PNS itu mengatakan, sarasehan yang akan digelar itu melibatkan beragam nara sumber.
Selain Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi, pembicara lainnya yakni Kapolda NTB Brigjen Pol Mochamad Iriawan, dan pimpinan aparat penegak hukum lainnya, akademisi dan budayawan, serta para tokoh adat.
Peserta sarasehan, pejabat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, akademisi, politisi, organisasi keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan se-Pulau Lombok, serta para tokoh dari Aliansi Masyarakat Adat (Aman).
Salah seorang tokoh adat di Pulau Lombok itu berharap sarasehan itu dapat menghasilkan beragam pemikiran yang mengarah kepada terciptanya kerukunan, ketentraman hidup, saling pengertian dan seling menghormati, serta terwujudnya rasa bangga sebagai Bangsa Indonesia yang kaya budaya.
"Acuan hukumnya yakni Amandemen UU 1945 pasal 18 huruf b ayat 2 yakni mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat, UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok Pokok Kehakiman, yang menekankan hakim dalam memutuskan perkara harus melihat kembali hukum adat yang hidup di masyarakat, dan berbagai regulasi tentang pemerintahan daerah," ujar Anggawa yang didampingi sejumlah tokoh adat Sasak lainnya. (*)