Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan RI menunggu hasil audit Komisariat Daerah Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komda KIPI) perihal laporan bayi berusia 5 bulan di Trenggalek, Jawa Timur, yang meninggal dunia usai menjalani imunisasi tetanus toksoid (TT).
"Saat ini kami masih menunggu kajian dari Komda KIPI yang lagi melakukan audit," kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kemenkes RI Maxi Rein Rondonuwu di Jakarta, Rabu.
Menurut Maxi, Kemenkes sedang menghimpun laporan kronologi kejadian dari dinas kesehatan setempat untuk memastikan faktor penyebab kejadian itu. "Dinkes juga kami sudah minta kronologisnya seperti apa. Itu akan dilihat penyebabnya, apakah dari vaksin atau bukan," katanya. Sementara itu, bayi berusia 5 bulan di Trenggalek, Jawa Timur, dilaporkan meninggal dunia pada Selasa (21/3) setelah menjalani suntikan vaksin tetanus oleh bidan desa setempat.
Gejala yang timbul berupa demam tinggi hingga kejang, sehingga pihak keluarga membawa pasien ke rumah sakit, hingga akhirnya pasien dinyatakan meninggal. Dikonfirmasi secara terpisah, Ketua Komnas KIPI Prof Hindra Irawan Satari mengatakan saat Ini sedang berlangsung proses audit yang dilakukan oleh Komnas KIPI bersama Komda KIPI Jatim. "Rekomendasi segera disusun," katanya.
Sebelumnya dalam agenda sosialisasi Imunisasi Ganda di Jakarta, Senin (27/3), Hindra mengatakan efek samping yang muncul usai imunisasi merupakan reaksi alami, untuk mengoptimalkan reaksi biokimia dalam tubuh. Menurut Hindra, KIPI terbagi dalam dua jenis yakni tingkat serius yang ditandai kejadian medik setelah imunisasi yang menyebabkan rawat inap, kecacatan, atau kematian yang berujung keresahan di masyarakat.
Baca juga: Sebanyak 7.194 anak Sabang terima imunisasi polio
Baca juga: Menkes minta prevalensi stunting 2023 turun jadi 17 persen
Sedangkan KIPI non-serius ditandai dengan kejadian medik setelah imunisasi dan tidak menimbulkan risiko potensial pada kesehatan penerima manfaat. Komnas melaporkan KIPI serius di Indonesia pernah terjadi pada 2016 sebanyak sembilan kasus, tiga akibat reaksi vaksin dan enam akibat koinsiden atau tidak ada keterkaitan dengan vaksin. Kejadian serupa juga dialami pada 2018, sebanyak satu kasus akibat reaksi vaksin dan 2019 sebanyak tujuh kasus akibat koinsiden dan inderminate. "Terakhir terjadi pada 2022 sebanyak satu kasus karena koinsiden," katanya.