Mataram (ANTARA) - Mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi (MLI) yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa serta penerimaan gratifikasi di lingkup kerja Pemerintah Kota Bima Tahun 2019-2020 memilih mengonsumsi obat jantung ketimbang menerima tawaran pembantaran KPK.
"Klien kami memilih konsumsi obat saja. Karena kalau operasi (jantung), proses hukum akan dihentikan sementara (dibantarkan) dan itu butuh waktu penyembuhan," kata Penasihat Hukum MLI, Abdul Hanan di Mataram, Selasa.
Dia menyampaikan hal demikian setelah mendapat tanggapan terkait surat pengajuan penangguhan penahanan MLI kepada penyidik KPK.
"Pada prinsipnya penyidik KPK sangat menghormati hak-hak tersangka, sehingga diberikan pilihan. Jika harus operasi, maka proses hukum akan dihentikan sementara sampai kondisi klien kami pulih," ujarnya.
Hanan mengatakan MLI menolak untuk menjalani operasi jantung karena tidak ingin proses hukum terhambat.
Apalagi, kata dia, dokter ahli kardiologi sudah melakukan pemeriksaan secara intensif dan memutuskan untuk menunda operasi jantung MLI. Namun, keputusan itu harus diimbangi dengan rutin konsumsi obat sesuai resep dokter.
"Jadi, saat ini kondisi klien kami dikatakan normal, akan terus normal asal rutin minum obat. Normal masih bisa ikuti proses hukum. Operasinya masih bisa ditunda," ucap dia.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri sebelumnya menyampaikan bahwa penyidik memperpanjang masa penahanan MLI hingga 3 Desember 2023.
Penahanan di Rutan KPK dijalani MLI terhitung sejak penetapan sebagai tersangka pada 5 Oktober 2023.
Baca juga: MAKI laporkan Firli Bahuri ke Dewas KPK
Baca juga: Keanggotaan Indonesia di FATF penting untuk berantas korupsi
KPK menetapkan MLI sebagai tersangka dengan menerapkan Pasal 12 huruf (i) dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.