Jakarta (ANTARA) - Budidaya "black soldier fly" (BSF) atau maggot bisa diintegrasikan dengan peternakan atau perikanan sesederhana seperti memeliharalele di dalam ember.
"Misalkan punya maggot, di bawahnya kolam lele atau lele dengan ember. Di ruang yang sempit, bawahnya lele di dalam ember itu menjadi integrasi," kata Kepala Bidang Pengurangan dan Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Dedy Setiono dalam acara daring di Jakarta, Rabu.
Dedy menuturkan maggot merupakan sumber pakan perikanan dan peternakan dan studi menunjukkan kandungan protein dalam makhluk ini bisa mencapai 40 persen. Menjadikan maggot sebagai pakan ternak dan ikan, menurut dia, juga dapat menjadi solusi atas kendala mencari pembeli (offtaker) maggot hasil budidaya.
"Biasanya fresh maggot dan maggot kering terkendala di offtaker. Tidak tersalurkan kemana, bingung mau jual kemana. Sekarang sudah ada koperasi maggot dengan sekitar 30 anggota, itu bisa menjadi satu saluran untuk offtaker dari penjualan maggot," kata Dedy.
Terkait persiapan peralatan dalam budidaya maggot, maka ini meliputi kandang untuk lalat hitam kawin dan bertelur, tempat penetasan telur, reaktor atau biopond sebagai tempat larva berkembang dan memakan sampah organik.
"Tidak terlalu mahal, alat yang disiapkan tidak terlalu banyak. Hanya memang butuh ketelatenan karena kita memelihara makhluk hidup," ujar Dedy.
BSF diketahui memiliki sejumlah kelebihan, salah satunya bisa mereduksi sampah organik dalam jangka waktu 24 jam. Hal ini lebih cepat dibandingkan metode pengolahan sampah organik menjadi pupuk tanaman atau kompos yang membutuhkan waktu sekitar 14-21 hari sampai menjadi kompos matang.
"Lalu, kompos hasilnya hanya kompos. Sementara BSF produknya macam-macam antara lain fresh maggot, maggot kering, bekas maggotnya bisa menjadi pupuk atau media tanam," kata Dedy.
Baca juga: Probolinggo beri dukungan agar pembudidaya ikan bisa mandiri
Baca juga: Pemprov Sumsel dukung pelestarian ikan arwana berbasis komunitas
Budidaya maggot sudah tercantum dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 55 Tahun 2021 tentang Pengurangan dan Penanganan, sebagai salah satu upaya mereduksi sampah organik di Jakarta.
Data menunjukkan hampir setengah sampah dari Jakarta yang dikirim ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang merupakan sampah organik.
"Komposisi dari sampah yang ada di Bantargebang atau yang timbul di Jakarta itu per harinya lebih banyak sampah organik. Sumber sampah organik terbesar dari permukiman," kata Dedy.