Ankara (ANTARA) - Amerika Serikat (AS) mengakuisisi hampir 40 persen dari wilayahnya saat ini dengan cara membeli lahan dari kekuatan kolonial dan negara-negara regional.
Setelah protes meletus di Bangladesh, mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina, yang kemudian meninggalkan negara tersebut, menuduh bahwa AS berusaha mengambil alih Pulau St. Martin di Teluk Bengal.
Hasina mengklaim bahwa dia tidak diizinkan tetap berkuasa karena menolak menerima hal tersebut. Gedung Putih membantah tuduhan tersebut.
Di Amerika Utara, setelah kedatangan Christopher Columbus di benua tersebut pada akhir abad ke-15, kekuatan Spanyol, Inggris, Prancis, dan negara-negara Eropa lainnya mulai mendirikan koloni pada abad ke-16.
Proses perampasan tanah dari penduduk asli melalui perang dan pembantaian semakin cepat pada abad ke-17 dan 18, yang mengarah pada dominasi Eropa atas benua tersebut.
Setelah menyatakan kemerdekaannya, AS menerapkan kebijakan ekspansi wilayah selama bertahun-tahun.
Pada tahun 1803, AS mengakuisisi Wilayah Louisiana dari Prancis dengan harga 15 juta dolar AS (Rp231,6 miliar). Akuisisi ini memfasilitasi ekspansi wilayah AS ke arah barat melintasi benua.
Faktor-faktor yang memperkuat posisi AS dalam pembelian ini termasuk kesulitan ekonomi Prancis dan kekhawatiran pemimpin Prancis, Napoleon Bonaparte, tentang masalah ekonomi dan keamanan yang dapat ditimbulkan oleh potensi konflik di Eropa.
Jumlah yang dibayarkan untuk wilayah tersebut, jika disesuaikan dengan tingkat inflasi rata-rata dolar sebesar 1,52 persen dari tahun 1803 hingga 2024, akan mencapai sekitar 420 juta dolar AS (Rp6,4triliun) dalam mata uang saat ini.
Selain itu, terdapat pula pembelian Florida yang dahulunya merupakan salah satu koloni Spanyol di Amerika.
Pada awal abad ke-19, Spanyol mulai kehilangan kendali atas Florida akibat dampak perang di Eropa dan konflik dengan penduduk setempat.
Kemudian pada 1819, AS membeli Florida dari Spanyol melalui Perjanjian Adams-Onis. AS setuju untuk menanggung sekitar 5 juta dolar AS kerugian yang disebabkan oleh tindakan warganya terhadap Spanyol.
Selanjutnya pada 1854, AS membeli hampir 77.000 kilometer persegi (29.729 mil persegi) tanah dari Meksiko seharga 10 juta dolar AS (Rp154,5miliar).
Tanah ini sekarang mencakup bagian dari Arizona dan New Mexico saat ini.
Langkah strategis besar
Pada paruh kedua abad ke-19, tekanan ekonomi akibat Perang Krimea menciptakan kondisi keuangan yang sulit bagi Rusia sehingga Rusia menawarkan untuk menjual Alaska kepada AS. Walhasil pada 1867, AS membeli Alaska dari Rusia seharga 7,2 juta dolar AS (Rp111,1 miliar)
Jika disesuaikan dengan tingkat inflasi rata-rata dolar sebesar 1,97 persen dari tahun 1867 hingga 2024, jumlah yang dibayarkan untuk Alaska setara dengan sekitar 153 juta dolar AS (Rp2,3 triliun) saat ini.
Nilai Alaska meningkat dengan penemuan sumber daya alamnya dan pengembangannya sebagai tujuan wisata. Saat ini, Alaska mencakup sekitar 17 persen dari wilayah AS saat ini.
Pentingnya geopolitik Alaska dan wilayah Arktik atau Lingkar Kutub Utara semakin jelas seiring waktu Alaska memberikan AS pos strategis melawan Rusia dan sangat penting untuk kehadiran dan pertahanan militer AS di Arktik.
AS juga mencoba membeli Kuba dari Spanyol. Selama proses kemerdekaan Kuba, pada tahun 1903, tanah di mana Teluk Guantanamo berada disewakan kepada AS.
Hubungan antara AS dan Kuba memburuk secara signifikan setelah revolusi yang dipimpin oleh Presiden Kuba saat itu, Fidel Castro, pada 1959. Selama Perang Dingin, kedua negara berada di blok yang berseberangan.
Pada awal abad ke-20, AS berusaha meningkatkan kehadiran strategisnya di Karibia, dengan menyoroti wilayah-wilayah di kawasan tersebut. Akibatnya, pada 1917, AS membeli Hindia Barat Denmark, yang sekarang dikenal sebagai Kepulauan Virgin, dari Denmark seharga 25 juta dolar AS (Rp386,1 miliar) dalam bentuk emas.
Akuisisi ini tidak hanya memperkuat posisi AS di Karibia tetapi juga menjadikan Kepulauan Virgin sebagai tujuan wisata penting bagi AS setelah Perang Dunia II.
Berusaha membeli Greenland
Greenland, wilayah otonom Denmark, sebagian besar tertutup es kecuali wilayah pesisir kecil di selatan dan barat. Meski telah mendapatkan status otonomi dari Denmark pada 1979, Greenland tetap bergantung pada Denmark untuk urusan luar negeri, keamanan, dan masalah keuangan.
Baca juga: Kaesang muncul ke publik usai rapat PSI
Baca juga: AS mengajukan versi final perjanjian gencatan senjata Jalur Gaza
Pulau ini kaya akan sumber daya alam termasuk uranium, emas, batu berharga, serta cadangan minyak dan gas. Pada 1946, pemerintahan Presiden AS saat itu, Harry Truman, sempat menawarkan Denmark 100 juta dolar AS (Rp1,5 triliun) dalam bentuk emas untuk membeli Greenland.
Hal yang sama terjadi pada 2019, mantan Presiden Donald Trump menyatakan minat untuk membeli Greenland, yang menyebabkan perselisihan diplomatik singkat antara AS dan Denmark.
Namun, pada Mei 2021, Menteri Luar Negeri Antony Blinken menegaskan bahwa AS tidak tertarik untuk membeli Greenland.