Pilkada Surabaya 2024 dan tantangan legitimasi calon tunggal

id Pilwali Surabaya 2024,pilkada surabaya 2024,legitimasi calon tunggal,calon tunggal Oleh Yasdad Al Farisi *)

Pilkada Surabaya 2024 dan tantangan legitimasi calon tunggal

Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gajah Mada (UGM), Yasdad Al Farisi (ANTARA/HO-Dok Yasdad Al Farisi)

Surabaya (ANTARA) - Pilkada serentak 2024 di Jawa Timur mencatat fenomena menarik, di mana lima pasangan calon kepala daerah akan melawan kotak kosong, termasuk dalam Pilwali Surabaya. Pasangan calon petahana, Eri Cahyadi-Armuji, melawan kotak kosong setelah mendapat dukungan penuh dari 18 partai politik di Surabaya. Hal ini berbeda dengan Pilkada Surabaya 2020 yang lebih kompetitif, diikuti oleh dua pasangan calon. Saat itu, Eri-Armuji menang dengan perolehan 597.540 suara, unggul atas Machfud Arifin-Mujiaman yang meraih 451.794 suara.

Fenomena kotak kosong merupakan bagian dari mekanisme demokrasi yang sah menurut regulasi pemilu di Indonesia. Melalui mekanisme ini masyarakat diberi kebebasan untuk memilih kotak kosong apablia tidak ingin memilih calon tersebut sebagai bentuk legitimasi pemilihan. Oleh karena itu, keberadaan hanya satu calon secara teori tidak dapat dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena elemen utama demokrasi, yaitu partisipasi dan kontestasi, tetap terpenuhi. Meskipun hanya satu pasangan calon yang maju dalam pilkada, pemungutan suara tetap dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap partisipasi warga negara untuk menjalankan hak pilih yang dijamin oleh Konstitusi. Selain itu, elemen kontestasi tetap hadir melalui persaingan antara pasangan calon tunggal dan kolom kosong. Meskipun demikian, keberadaan calon tunggal sering kali menimbulkan pertanyaan tentang kualitas demokrasi dan legitimasi politik. Demokrasi ideal seharusnya memberikan ruang bagi keberagaman pilihan dan kompetisi sehat. Dalam situasi ini, legitimasi calon tunggal yang menang menjadi isu yang krusial untuk dianalisis.

Beberapa argumen mengapa legitimasi penting bagi calon tunggal yang terpilih, maka mengadu pada pandangan Clement (2017) dan Gilley (2009), bahwa legitimasi merupakan prasyarat tereselenggaranya otoritas dari kepala daerah sabagai pemimpin politik. Legitimasi juga bermakna pengakuan dan kerelaan untuk menerima suatu relasi kuasa; dalam konteks negara, legitimasi berarti pengakuan dan kerelaan warga untuk menerima kewenangan negara. Dengan menguatnya derajat legitimasi memungkinkan otoritas terselenggara tanpa menggunakan instrument kekuatan pemaksa (coercive power), sementara warga berhak untuk berharap bahwa kekuasaan dijalankan dengan mengedepankan kepentingan publik bukan kepentingan penguasa atau golongan tertentu.
 

Analisis Masalah Legitimasi Kekuasaan Calon Tunggal

David Beetham, dalam bukunya The Legitimation of Power (1991), menawarkan tiga dimensi untuk memahami legitimasi kekuasaan: yaitu kesesuaiannya dengan aturan yang ditetapkan, persetujuan kolektif dari masyarakat dan justifikasi normatif. Ketiga dimensi ini memberikan kerangka untuk menilai tantangan legitimasi calon tunggal dalam Pilkada Surabaya 2024.

Dimensi pertama kesesuaian aturan hukum, dalam konteks Pilkada Surabaya, keberadaan calon tunggal yang melawan kotak kosong sepenuhnya sah menurut undang-undang pemilu di Indonesia. Regulasi ini dirancang untuk memastikan proses demokrasi tetap berjalan meski hanya ada satu pasangan calon. Namun Legitimasi formal calon tunggal ini hanya bisa diterima jika masyarakat yakin bahwa prosesnya benar-benar inklusif, tidak melibatkan tekanan politik, dan tetap menjamin hak pilih warga secara penuh. Jika masyarakat merasa bahwa kerangka hukum yang ada telah dimanipulasi oleh dominasi politik tertentu (dalam hal ini koalisi 18 partai), maka validitas hukum itu bisa kehilangan makna di mata publik.

Dimensi kedua persetujuan kolektif dari masyarakat, dimensi ini berfokus pada sejauh mana masyarakat menerima otoritas yang dimiliki oleh pemimpin. Keberhasilan pasangan calon Eri Cahyadi-Armuji dalam membangun penerimaan akan sangat bergantung pada dua faktor, pertama tingkat partisipasi pemilih: Tingkat kehadiran yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat tetap terlibat meskipun pilihan terbatas. Sebaliknya, tingkat partisipasi rendah bisa menjadi indikator apatisme dan ketidakpuasan. Faktor kedua, yakni persentase suara yang mendukung calon tunggal, semakin besar margin kemenangan terhadap kotak kosong, semakin tinggi kemungkinan penerimaan masyarakat terhadap kepemimpinan pasangan calon. Namun, penerimaan ini masih bersifat prosedural. Untuk memperkuat legitimasi berdasarkan persetujuan kolektif, calon tunggal perlu menggalang dukungan luas dengan cara transparan dan inklusif. Kemenangan besar tanpa partisipasi yang signifikan dapat menjadi kemenangan prosedural tetapi tidak substansial.

Dimensi ketiga kepercayaan terhadap justifikasi norma, dimensi ini mengacu pada apakah kekuasaan sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang diakui masyarakat sebagai dasar yang sah untuk memerintah. Justifikasi normatif calon tunggal terletak pada argumen bahwa keberadaan kolom kosong memberikan masyarakat kebebasan untuk menolak pasangan calon, sehingga demokrasi tetap berjalan. Elemen kontestasi dan partisipasi tetap dipenuhi secara normatif. Calon terpilih akan berhadapan dengan pandangan masyarakat yang mungkin tidak melihat kolom kosong sebagai alternatif yang setara dengan keberadaan kandidat lain. Pasangan calon Eri Cahyadi-Armuji harus menunjukkan bahwa mereka tidak hanya memenuhi norma prosedural, tetapi juga nilai-nilai substantif demokrasi. Agar legitimasi normatif terjaga, pasangan calon tunggal perlu menunjukkan bahwa mereka mewakili kepentingan masyarakat luas dan bukan sekadar produk dari kompromi elit politik. Justifikasi normatif ini hanya akan diterima jika calon mampu menunjukkan visi dan program yang benar-benar inklusif dan mengatasi aspirasi masyarakat.
 

Mekanisme Penguatan Legitimasi Calon Tunggal

Dalam kerangka pemikiran Beetham, legitimasi calon tunggal dalam Pilkada Surabaya berada pada posisi yang rapuh. Meskipun secara aturan hukum sah, keberadaan calon tunggal sering kali dianggap tidak mencerminkan norma demokrasi ideal yang menjunjung kompetisi dan keberagaman. Pada saat yang sama, legitimasi mereka sangat bergantung pada tindakan kolektif masyarakat, seperti tingkat partisipasi dan hasil pemilu yang menunjukkan dukungan nyata.

Agar legitimasi mereka diterima secara luas, pasangan calon tunggal perlu menjamin bahwa proses pencalonan dilakukan secara transparan tanpa manipulasi politik. Kemudian mereka juga perlu mengedepankan program kerja yang inklusif untuk menarik kepercayaan masyarakat. Selain itu, perlu juga mengupayakan tingkat partisipasi yang tinggi dalam pemilu sebagai bukti persetujuan kolektif. Dengan memenuhi ketiga dimensi tersebut, legitimasi calon tunggal dapat ditingkatkan, meskipun tetap menghadapi tantangan dari persepsi publik tentang demokrasi yang kurang kompetitif. Dengan demikian, keberhasilan pasangan calon tunggal dalam Pilkada Surabaya tidak hanya diukur dari hasil kotak suara, tetapi juga dari kemampuan mereka menjawab tantangan legitimasi substantif pasca-pemilu. Dampak yang muncul dari rendahnya legitimasi akan berakibat pada hubungan antara pemerintah dan masyarakat, ke depan pemimpin terpilih akan mengalami hambatan implementasi kebijakan publik akibat risistensi terhadap program pemerintah.

Terlepas dari persoalan bagaimana perjuangan dan strategi calon tunggal terpilih nantinya mendapatkan legitimasi publik, fenomena calon tunggal tetap menjadi catatan proses demokrasi di Indonesia, bahwa fenomena calon tunggal yang berulang kali terjadi dapat menciptakan preseden buruk dalam demokrasi. Sistem politik yang tidak kompetitif dapat memunculkan oligarki, di mana kelompok elit mendominasi dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Dalam jangka panjang, ini dapat mengikis legitimasi demokrasi secara keseluruhan dan mengurangi partisipasi publik dalam proses politik.

 

*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gajah Mada (UGM)