Menjaga ruh demokrasi: Dari keadilan elektoral ke keadilan hakiki

id Menjaga ruh demokrasi,keadilan elektoral,keadilan hakiki Oleh Teguh Prihandoko *)

Menjaga ruh demokrasi: Dari keadilan elektoral ke keadilan hakiki

Ketua Jaka Airlangga Teguh Prihandoko (ANTARA/HO-Dok Teguh Prihandoko)

Surabaya (ANTARA) - Demokrasi Indonesia sedang berada di titik kritis. Ketika keadilan yang sejatinya menjadi fondasi utama kehidupan bernegara mulai tergeser oleh ambisi kekuasaan, kita patut bertanya: ke mana arah bangsa ini? Demokrasi elektoral yang digadang-gadang sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, kini menjadi alat legitimasi kekuasaan, sementara hukum—yang seharusnya menjadi penjaga keadilan—berubah menjadi alat kekuasaan atau yang kerap disebut “rule by law.”

Pidato Megawati Soekarnoputri dalam peluncuran buku “PILPRES 2024: Antara Hukum, Etika, dan Pertimbangan Psikologis” memberikan refleksi mendalam tentang pentingnya menjaga keadilan sebagai fondasi negara. Sebagai Presiden Kelima RI yang mendirikan Mahkamah Konstitusi (MK), Megawati dengan tegas menyebut bahwa frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah landasan spiritual tertinggi dalam setiap keputusan hukum. Namun, realitasnya, prinsip ini kerap tergeser oleh ambisi politik. Keputusan MK yang disebutnya sebagai “Palu Godam” menggambarkan ironi demokrasi, di mana keadilan elektoral menjadi pembenaran atas penggunaan kekuasaan negara secara tidak adil.

Krisis Moral dan Etika Demokrasi

Di tengah ketegangan politik ini, etika dan moral dalam kehidupan berbangsa kian terkikis. Sejarah membuktikan bahwa ketika hukum hanya menjadi alat kekuasaan, masyarakat terjerumus dalam tirani yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Pidato Megawati menyebutkan bahwa “etika, moral, dan peradaban adalah modalitas kemajuan bangsa.” Namun, ia juga menggarisbawahi bahwa praktik demokrasi saat ini justru menunjukkan titik terendah dalam penerapan moral dan etika politik.

Ketika aparatur negara, yang seharusnya netral, justru terlibat dalam politik praktis, kepercayaan publik terhadap institusi negara pun runtuh. Contohnya adalah keterlibatan institusional POLRI dalam pemilu, sebagaimana disebut dalam pidato tersebut. Kasus Sambo dan pelanggaran hukum lainnya menjadi cerminan nyata bagaimana institusi penegak hukum kehilangan netralitasnya. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena tanpa aparatur yang netral dan independen, sulit bagi Indonesia untuk menjaga stabilitas demokrasi.

Membangun Sistem Demokrasi dan Hukum yang Berkeadilan

Pidato Megawati juga menyinggung pentingnya keseimbangan antara demokrasi dan hukum. Beliau menekankan bahwa sistem demokrasi yang sehat memerlukan dukungan sistem hukum yang berkeadilan. Namun, dalam kenyataannya, Megawati mengkritik bahwa “rule of law” telah berubah menjadi “rule by law.” Hal ini menandakan bahwa hukum kerap digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan, bukan untuk menegakkan keadilan.

Sebagai pendiri KPK, Megawati mengungkapkan kekhawatiran bahwa lembaga yang awalnya dirancang untuk independen kini terpengaruh oleh kepentingan politik. Fenomena ini sejalan dengan pengamatan para tokoh hukum seperti Prof Mahfud MD dan Prof Sulistyowati, yang memperingatkan bahaya lunturnya independensi lembaga penegak hukum. Megawati benar dalam menekankan pentingnya reformasi institusional yang mendalam untuk memastikan demokrasi tetap hidup dan berfungsi dengan baik.

Refleksi dan Seruan untuk Masa Depan

Pidato Megawati menyoroti bagaimana lagu Indonesia Raya mencerminkan cita-cita besar bangsa ini: membangun jiwa dan badan rakyat untuk mencapai kemakmuran dan keadilan. Namun, beliau juga mengingatkan bahwa cita-cita ini sulit tercapai tanpa disiplin dalam bernegara. Megawati dengan tajam mengkritik upaya-upaya memperpanjang masa jabatan presiden yang bertentangan dengan amanat konstitusi, menyebutnya sebagai bentuk pengkhianatan terhadap ruh demokrasi.

Tanggapan ini sangat relevan dalam konteks politik saat ini, di mana muncul berbagai wacana yang mencoba menggiring opini publik untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Langkah ini tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga mencederai prinsip dasar demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah pasca-Orde Baru.

Megawati menutup pidatonya dengan seruan untuk tidak menyerah dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Pesan ini menjadi pengingat bahwa demokrasi adalah perjuangan yang tidak pernah selesai. Seperti yang dikatakannya, “tidak ada kekuasaan yang berhak mematikan jiwa-jiwa dan semangat bangsa merdeka.” Pesan ini menginspirasi kita semua untuk terus menjaga keadilan dan memperjuangkan hak-hak rakyat, bahkan di tengah tekanan politik yang berat.

Kesimpulan

Pidato Megawati Soekarnoputri adalah refleksi mendalam atas tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia saat ini. Etika, moral, dan keadilan harus menjadi pondasi dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan bernegara. Sebagai bangsa, kita tidak boleh menyerah menghadapi degradasi demokrasi dan hukum. Pancasila dan konstitusi memberikan panduan yang jelas untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Demokrasi Indonesia membutuhkan pembaruan sistemik, mulai dari reformasi hukum hingga penguatan budaya politik yang beretika. Pesan Megawati adalah pengingat bahwa perjuangan untuk kebenaran dan keadilan tidak pernah selesai, tetapi harus terus dilakukan untuk menjaga Indonesia tetap menjadi negara yang berdaulat dan bermartabat.

*) Penulis adalah Ketua Jaka Airlangga