Hilirisasi Pendidikan

id hilirisasi pendidikan,kebijakan pendidikan Oleh Aditya Zulmi Rahmawan *)

Hilirisasi Pendidikan

Praktisi Pendidikan, Aditya Zulmi Rahmawan (ANTARA/HO -Dok Aditya Zulmi Rahmawan)

Surabaya (ANTARA) - Pendidikan, selama ini kerap dibicarakan dalam bahasa seperti kurikulum, sistem rayon, digitalisasi, dan capaian standar internasional. Namun, di sebagian besar wilayah Indonesia, kata “pendidikan” masih terdengar asing, atau setidaknya dalam kehidupan keluarga-keluarga sederhana. Selama ini pendidikan sering dianggap sebagai proses yang terjadi di sekolah, kampus, atau lembaga formal lainnya.

Tapi kenyataannya, banyak keluarga yang tak pernah benar-benar merasakan manfaat dari pendidikan itu. Di luar kota-kota besar, ada jutaan anak yang sekolah hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Bahkan di dalam kota pun, tidak sedikit keluarga yang hanya bisa mengantarkan anak sampai gerbang sekolah, tanpa pernah tahu apa isi pembelajarannya. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (2020), penduduk yang berpendidikan tinggi hanya 8,5 persen dari total penduduk berusia 14 tahun ke atas.

Pendidikan yang tinggi masih sering terasa seperti panggung elite yang tidak mengundang penonton dari kampung-kampung, dari lembah-lembah, dari rumah-rumah sederhana yang penghasilannya pas-pasan, apalagi dari daerah tertinggal, terluar, dan terdalam.

Padahal, pendidikan bukan hanya milik ruang kelas. Ia harus menjemput bola—mendatangi ruang-ruang kecil di rumah warga, hadir dalam perbincangan keluarga, dan terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Menurut data BPS 2023, hanya sekitar 54% orang tua yang secara aktif mendampingi anak mereka belajar di rumah, Ini menjadi sangat mencengangkan, mengingat bahwa dukungan keluarga merupakan faktor penting dalam keberhasilan akademik.

Pendidikan seharusnya tidak hanya berjalan dari hulu ke hilir secara kusut, tetapi benar-benar tiba di hilir, di ruang tamu keluarga, di pangkuan ayah-ibu, dalam diskusi makan malam, atau di sela waktu kerja kepala keluarga. Sayangnya, keberlanjutan pendidikan kita belum selesai menjawab tantangan ini. Pendidikan idealnya adalah tangga sosial. Namun di banyak pelosok Indonesia, tangga itu patah sebelum sampai ke rumah-rumah keluarga biasa. Ia sering berhenti di ruang-ruang kelas, atau ruang-ruang rapat pemerintahan.

Akrobatik Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan kita kerap tergesa-gesa, meloncat dari satu kurikulum ke kurikulum lain seperti acrobat yang terus mengganti gerakan sebelum mendarat. Kurikulum berubah, model asesmen berubah, standar kompetensi berubah, tapi perubahan itu sering tak punya akar kuat. Hal yang ikut berubah hanyalah guru yang harus pelatihan lagi, siswa yang bingung, dan orang tua yang makin tak paham harus menuntun ke mana anaknya.

Tiap perubahan membawa jargon dan harapan baru, tapi implementasinya kerap tidak menyentuh realitas di akar rumput. Sistem yang terlalu berorientasi pada pengukuran angka dan peringkat membuat sekolah semakin sibuk memenuhi target, sementara keluarga semakin tertinggal dalam prosesnya. Padahal, pendidikan tak akan pernah berhasil tanpa melibatkan keluarga. Dalam laporan UNICEF Indonesia (2022), disebutkan bahwa peran orang tua sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan anak.

Belajar mengajar (ANTARA/HO -Dok Aditya Zulmi Rahmawan)

Anak-anak dari keluarga yang orang tuanya aktif dalam proses belajar cenderung memiliki motivasi lebih tinggi dan kelanjutan pendidikan yang lebih baik. Namun faktanya, dalam data BPS tahun 2023, terdapat lebih dari 413.000 anak putus sekolah di Indonesia, kelompok besar berasal dari keluarga berpenghasilan rendah dan dari rumah yang orang tuanya tidak menyelesaikan pendidikan menengah.

Hal ini menjadi lebih kompleks saat kita melihat profil kepala keluarga saat ini. Mayoritas dari mereka adalah generasi milenial—generasi yang tumbuh dalam era digital, lebih melek informasi, dan cenderung sangat selektif terhadap institusi, termasuk pendidikan. Menurut Katadata Insight Center (2023), lebih dari 60% milenial Indonesia merasa pendidikan saat ini tidak cukup relevan dan terlalu birokratis. Mereka ingin pendidikan yang kontekstual, solutif, dan terasa dampaknya langsung dalam kehidupan keluarga. Sehingga kolaborasi antar Lembaga pemerintah merayakan hal ini dengan membuka informasi seluas-luasnya.

Menuju Pendidikan yang Menyentuh Rumah

Hilirisasi pendidikan adalah perubahan arah berpikir. Bahwa pendidikan harus menyentuh, bukan hanya disampaikan. Ia harus hadir dalam bentuk yang dapat dirasakan oleh keluarga untuk mengurangi beban ekonomi, membuka akses informasi, dan memperkuat fungsi pengasuhan.

Salah satu contoh kebijakan sederhana namun berdampak yang patut ditiru datang dari Malaysia, yang melalui program Baucar Buku 1Malaysia (BB1M) memberikan subsidi buku bacaan kepada mahasiswa dan pelajar dari keluarga kurang mampu. Dengan buku-buku tersebut, keluarga tidak hanya terbantu secara ekonomi, tapi juga berkesempatan mengakses bahan bacaan berkualitas yang bisa dibaca di rumah.

Indonesia bisa merancang program serupa seperti Subsidi Buku Keluarga, yaitu paket literasi yang tidak hanya berisi buku pembelajaran untuk anak, tetapi juga buku pengasuhan untuk orang tua, dan bacaan literasi dasar bagi keluarga. Program ini akan memperkuat ikatan pendidikan antaranggota keluarga dan menjadikan rumah sebagai ruang belajar alternatif yang aktif serta buku juga bisa direpresentasikan sebagai pendidikan yang hadir di keluarga.

Solusi lain bisa berupa pelatihan digital bagi orang tua, yang mengajarkan bagaimana mendampingi anak belajar, memahami kurikulum, serta mengakses bantuan pendidikan secara online. Ini bukan sekadar inklusi digital, melainkan pemberdayaan keluarga dalam menghadapi kompleksitas pendidikan saat ini.

Dari Keluarga untuk Indonesia Maju

Tepat di hari Keluarga Nasional 2025, pada tanggal 29 Juni 2025 yang mengusung tema “Dari Keluarga untuk Indonesia Maju.” Hal ini bisa menjadi bahan refleksi, bahwa negara sebesar Indonesia tidak akan benar-benar maju tanpa keluarga-keluarga yang kuat, dan keluarga tidak akan kuat tanpa pendidikan yang memberdayakan mereka.

Kita perlu mulai melihat keluarga bukan hanya sebagai objek dari kebijakan pendidikan, melainkan sebagai subjek utama. Pendidikan yang menyentuh keluarga adalah pendidikan yang tidak membuat orang tua gelisah, tidak membuat anak frustasi, dan tidak membuat rumah terasa seperti penonton dari panggung besar bernama “sistem nasional”.

Selamat Hari Keluarga Nasional 2025, kita mulai hilirisasi pendidikan dari tempat yang paling dekat—rumah kita sendiri. Karena ketika pendidikan tumbuh di ruang makan, ruang tamu, dan ruang hati keluarga, maka bangsa ini akan tumbuh dari akar yang paling kuat: dari keluarga, untuk Indonesia maju.

*) Penulis adalah Praktisi Pendidikan



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.