Industri kerajinan topeng kayu Lombok kesulitan bahan baku

id industri topeng,topeng kayu

Industri kerajinan topeng kayu Lombok kesulitan bahan baku

Seorang wisatawan tengah melihat topeng yang merupakan kerajinan tangan perajin Desa Labuapi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. (foto: Farizan)

Mataram (Antaranews NTB) - Para pengusaha kerajinan topeng kayu di Desa Labuapi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, mengaku kesulitan mendapatkan bahan baku sejak bencana gempa bumi lima bulan lalu.

Khaerudin, salah satu pengusaha pembuat topeng kayu di Desa Labuapi, Selasa, mengaku kesulitan mendapatkan bahan baku kayu mahoni, kalaupun ada harganya naik hampir dua kali lipat.

"Kayu-kayu banyak dibawa ke tempat-tempat korban gempa, jadi harganya naik menjadi dua kali lipat," kata Khaerudin.

Dampak lainnya, kata dia, banyak pegawai yang mengundurkan diri karena tidak adanya pekerjaan. Semula ia memiliki lima karyawan yang masing-masing bisa memproduksi sekitar 100 topeng dalam sepekan, namun setelah gempa tinggal dua orang saja.

"Yang lain daftar pergi ke Malaysia, karena lama tidak bisa kerja sebab susah cari bahan (kayu mahoni)," ujar Khaerudin.

Industri kerajinan topeng saat ini mengalami penurunan drastis, karena pembeli serta pengunjung ke tempat pembuatan topeng tersebut berkurang.

"Besar dampaknya, tamu-tamu tidak mau berkunjung karena (mereka takut) siapa tahu ketika di Lombok terjadi gempa lagi," kata Saheh, salah seorang pengusaha.

Misbah, manajer perusahaan industri kerajinan ketika dihubungi Antara, menjelaskan? setelah gempa yang menimpa Lombok, pameran kerajinan yang sedianya di Bali pada September 2018 dialihkan ke Yogyakarta.

Hal ini menyebabkan beberapa pelaku usaha kerajinan topeng kayu batal menghadirinya, sebab menambah biaya transportasi.

"Pada 2018 omset kami hanya Rp50 juta, padahal tahun sebelumnya bisa mencapai Rp150 juta," kata Misbah.

Bencana gempa Lombok seolah-olah menggenapi penyebab "mati suri" usaha industri? kerajinan topeng kayu di Lombok, mulai dari kasus bom Bali sampai melemahnya rupiah terhadap dolar AS sehingga biaya produksi meningkat.

"Harga cat `clear gloss` selalu naik, yang awalnya seharga Rp75 ribu per galon isi 15 kilogram, sekarang sudah mencapai Rp300 ribu," ujar Saheh.

Misbah menjelaskan dirinya memesan cat dari satu produsen dengan harga yang disesuaikan dengan kurs dolar AS.

Dari pantauan Antara banyak "artshop" di Desa Labuapi, tutup dan para perajin beralih?profesi, seperti menjadi buruh bengkel las, penjual sayur keliling bahkan menjadi tenaga kerja ke Malaysia.