Ketua REI NTB tanggapi pernyataan Wamen PKP ancam pengembang perumahan

id REI NTB,Heri Susanto,Pernyataan Wamen PKP,Perumahan,Nusa Tenggara Barat

Ketua REI NTB tanggapi pernyataan Wamen PKP ancam pengembang perumahan

Ketua REI NTB, Heri Susanto. (ANTARA/Awaludin)

Mataram (ANTARA) - Ketua Real Estate Indonesia (REI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), H Heri Susanto, menilai pernyataan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Wamen PKP), Fahri Hamzah, yang mengancam akan membawa pengembang perumahan ke ranah hukum jika membangun di atas lahan sawah produktif bisa menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha properti.

"Pak Wamen PKP tidak usah ancam-ancamlah. Kalau pengembang salah, kan pasti ada proses hukum. Tapi pernyataan ini bisa membuat pelaku usaha khawatir dan enggan membangun," kata Heri, di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin.

Ia menyoroti bahwa persoalan alih fungsi lahan sawah produktif sering kali terjadi karena aturan tata ruang yang belum optimal.

Menurut Heri, banyak lahan sawah yang masih masuk dalam kategori yang bisa dialihkan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang ditetapkan pemerintah.

"Masalah tata ruang ini sudah puluhan tahun abu-abu, dan belum selesai hingga sekarang. Tugas pemerintah adalah memperbaiki aturan ini, bukan sekadar melempar ancaman," ujarnya.

Baca juga: Wamen Fahri Hamzah tegaskan program 3 juta rumah tak buka lahan produktif

Ia menambahkan pengembang selama ini mematuhi aturan yang ada, termasuk proses perizinan seperti persetujuan bangunan gedung yang sebelumnya dikenal sebagai izin mendirikan bangunan (IMB).

"Namun, ketidakpastian kebijakan sering kali menjadi kendala dalam realisasi proyek perumahan," ucapnya.

Heri mengungkapkan bahwa ancaman kepada pengembang hanya akan memperburuk situasi, terutama dalam kondisi ekonomi yang masih dalam tahap pemulihan. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pengembang, tetapi juga sektor-sektor terkait lainnya.

"Kalau pengembang resah, dampaknya akan terasa di banyak sektor. Kredit perbankan bisa mandek, penyuplai material berhenti, dan roda ekonomi yang terkait pembangunan perumahan ikut terganggu," katanya.

Ia juga menekankan pentingnya koordinasi antara Kementerian Perumahan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk menyelaraskan kebijakan tata ruang.

"Kalau ada lahan pertanian yang diajukan untuk pembangunan, cukup koordinasikan dengan ATR/BPN. Jangan beri izin pengembang. Clear masalahnya. Buat aturan yang jelas, lalu disiplinkan dengan satgas pengendalian," ujarnya.

Baca juga: Wamen: Qatar dukungan bangun rumah di Indonesia hingga 6 juta hunian

Menurut Heri, salah satu solusi untuk menghindari alih fungsi lahan produktif adalah pembangunan infrastruktur di area yang masih marjinal. Ia menyarankan pemerintah untuk membangun fasilitas seperti jalan bypass, akses kelistrikan, dan jaringan air bersih di kawasan tersebut.

"Kalau pemerintah mau mewujudkan target 3 juta rumah, jangan sekadar melarang tanpa solusi. Bangun infrastruktur di lahan yang marjinal. Kalau infrastrukturnya tersedia, otomatis kawasan itu menarik bagi konsumen dan investor. Lahan sawah pun aman," katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa kebutuhan rumah (backlog) di NTB masih sangat tinggi, mencapai ratusan ribu unit, termasuk rumah tidak layak huni. Hal ini, menurutnya, harus menjadi perhatian serius pemerintah.

"Kalau pengembang takut membangun karena ancaman hukum, kapan kita bisa memenuhi kebutuhan rumah rakyat? Target 3 juta rumah itu tidak akan tercapai kalau seperti ini," terangnya.

Baca juga: Kementerian Perkim jamin keberhasilan pembangunan rusun

Heri menjelaskan bahwa kebutuhan lahan untuk pembangunan 3 juta rumah selama lima tahun hanya sekitar 6.000 hektare per tahun atau 30.000 hektare secara keseluruhan. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan total alih fungsi lahan nasional yang mencapai 600.000 hektare per tahun.

"Artinya, kebutuhan lahan untuk program ini hanya 1 persen dari total alih fungsi lahan. Di NTB saja, pembangunan rumah setiap tahun hanya membutuhkan sekitar 50–75 hektare. Bandingkan dengan alih fungsi lahan yang mencapai 10.000 hektare per tahun," jelasnya.

Ia berharap pemerintah, khususnya Kementerian Perumahan, lebih fokus pada solusi daripada mengeluarkan pernyataan yang justru menimbulkan keresahan.

Heri juga meminta agar pemerintah segera menyelesaikan masalah tata ruang, sehingga tidak ada lagi lahan sawah yang masuk dalam peta alih fungsi.

"Target 3 juta rumah ini adalah program besar dari pemerintahan Prabowo-Gibran. Jangan sampai salah langkah karena komunikasi yang kurang tepat. Mari fokus pada solusi agar masyarakat dapat rumah, pengembang nyaman bekerja, dan lahan produktif tetap terjaga," pungkasnya.