Disnakertrans NTB identifikasi layanan yang rawan gratifikasi

id NTB,Disnakertrans NTB,Gratifikasi,Pemprov NTB

Disnakertrans NTB identifikasi layanan yang rawan gratifikasi

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Nusa Tenggara Barat, I Gede Putu Aryadi. (ANTARA/Disnakertrans NTB).

Mataram (ANTARA) - Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) I Gede Putu Aryadi meminta jajarannya untuk mengidentifikasi layanan yang rawan terjadinya gratifikasi guna menindaklanjuti rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal ini disampaikan I Gede Putu Aryadi pada sosialisasi pemahaman gratifikasi dan asesmen identifikasi titik rawan gratifikasi serta mitigasi risiko yang diselenggarakan oleh Inspektorat NTB melalui keterangan tertulis di Mataram, Minggu.

"Adanya identifikasi titik rawan gratifikasi pada unit kerja yang memiliki risiko tinggi, diharapkan dapat diambil langkah perbaikan yang lebih efektif guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas dan pelayanan publik," ujarnya.

Ia menyoroti pentingnya budaya kerja yang disiplin dan berintegritas.

"Kalau kita mengundang acara jam 8, tapi baru mulai jam 9, bagaimana kita bisa membangun budaya kerja yang baik? Masyarakat sudah menunggu, sementara kita masih bersantai di rumah. Ini yang perlu kita perbaiki," katanya.

Baca juga: Disnakertrans NTB: Pelatihan vokasi harus relevan kebutuhan kerja

Menurutnya, gratifikasi harus dicegah, bukan sekadar dikendalikan. Jika hanya berbicara soal pengendalian, maka seolah-olah gratifikasi boleh dilakukan selama ada batasnya. Padahal, seharusnya dicegah agar tidak menjadi kebiasaan buruk yang berkembang menjadi pemerasan atau suap.

Aryadi juga mengajak jajaran untuk memahami perbedaan antara gratifikasi yang bersifat suap dengan bentuk penghormatan dalam budaya dan agama. Ia mencontohkan tradisi memberikan hadiah kepada penghulu saat pernikahan, yang dalam budaya lokal merupakan bentuk penghormatan, bukan gratifikasi.

"Jika kita menikahkan anak dan memberikan Rp1 juta kepada penghulu, apakah itu gratifikasi? Dalam budaya kita, ini adalah bentuk penghormatan. Harus ada batasan yang jelas dalam memahami hal ini," katanya.

Baca juga: NTB mendorong pembentukan satgas pencegahan kekerasan seksual

Selain itu, ia juga menyinggung tentang kewajiban mendukung kehidupan pemuka agama yang tidak diperbolehkan bekerja.

"Ketika saya memberikan Rp5 juta kepada seorang pemuka agama yang menikahkan anak saya, apakah itu gratifikasi? Tidak, karena ini bagian dari kewajiban dalam konsep budaya dan agama," ujarnya.

Aryadi menekankan pentingnya regulasi dan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam mencegah gratifikasi di sektor pelayanan publik. Setiap surat masuk harus memiliki dasar yang kuat. Kesalahan administrasi sekecil apapun bisa berdampak besar.

Pemahaman regulasi dalam pengawasan tenaga kerja asing sangat penting. Pengawas tenaga kerja harus memahami bahwa yang diawasi adalah perusahaan, bukan individu pekerja asing itu sendiri.

Menghadapi tantangan ini, pihaknya berkomitmen dalam menjaga integritas dan profesionalisme dalam pelayanan publik dan mengingatkan bahwa seluruh aparatur harus memahami kewenangan-nya agar tidak terjebak dalam praktik yang berpotensi melanggar hukum.

Baca juga: Disnaker ajak perusahaan di NTB evaluasi hubungan industrial