Pemikiran Sumitro, Ekonomi kerakyatan dan ancaman Liberalisasi tarif Trump

id pemikiran sumitro,Ekonomi kerakyatan,Liberalisasi,tarif Trump Oleh Ken Bimo Sultoni *)

Pemikiran Sumitro, Ekonomi kerakyatan dan ancaman Liberalisasi tarif Trump

Peneliti Sygma Research and Consulting dan Dosen Universitas Negeri Surabaya Ken Bimo Sultoni (ANTARA/HO-Dok pribadi Ken Bimo Sultoni)

Surabaya (ANTARA) - Ketika Donald Trump menggaungkan ide "Tariff Liberation Day", yaitu kebijakan penghapusan atau penurunan tarif secara sepihak demi kepentingan nasional Amerika, dunia kembali diingatkan pada turbulensi global yang dapat memukul ekonomi negara berkembang—termasuk Indonesia. Dalam situasi ini, penting bagi kita untuk menengok kembali pemikiran klasik namun visioner dari Prof. Sumitro Djojohadikusumo, terutama dalam karyanya "Kredit Rakyat di Masa Depresi".

Sumitro menulis buku ini pada era 1930-an, ketika dunia dilanda Depresi Besar. Dalam konteks kolonial saat itu, Sumitro menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia yang berbasis ekspor hasil bumi sangat rentan terhadap guncangan global. Namun, ia melihat satu pilar kekuatan yang justru mampu menopang ekonomi rakyat di tengah krisis: sistem kredit rakyat.

Bagi Sumitro, akses permodalan bagi masyarakat bawah bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga soal keadilan sosial dan kemandirian bangsa. Lembaga seperti bank desa dan Volkscredietbank (AVB) dipuji karena kemampuannya menghidupkan ekonomi lokal dari bawah. Ia mengkritik sistem kolonial yang timpang dan mengusulkan reformasi struktural demi membangun ekonomi yang berakar dari rakyat.

Kini, hampir satu abad kemudian, ancaman krisis akibat liberalisasi tarif dan proteksionisme baru datang dengan wajah yang berbeda namun dampak yang sama. Kebijakan Tariff Liberation Day ala Trump mendorong negara-negara besar untuk membanjiri pasar dunia dengan produk murah, memukul industri dalam negeri negara berkembang, serta memperluas ketergantungan ekonomi.

Menurut laporan resmi pemerintah AS, National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE 2025), Indonesia dinilai masih memberlakukan berbagai hambatan perdagangan, seperti pembatasan ekspor mineral mentah, regulasi halal, dan persyaratan kandunganlokal (local content). Padahal, kebijakan-kebijakan ini merupakan instrumen penting untuk membangun kemandirian industri dalam negeri dan keberlanjutan ekonomi nasional.

Sementara itu, laporan terbaru dari Sygma Research and Consulting memperingatkan bahwa jika Donald Trump benar-benar memenangkan pemilu dan kembali menjalankan agenda “America First 2.0”, maka Indonesia berpotensi mengalami tekanan ekonomi-politik yang lebih kuat. Amerika akan makin agresif menekan negara-negara berkembang untuk membuka pasar dan melepas kebijakan protektif, demi mendongkrak ekspor dan menghidupkan manufaktur dalam negerinya .

Indonesia, jika tak siap, bisa jatuh ke dalam jebakan yang sama seperti masa Depresi: menjadi korban fluktuasi pasar global tanpa daya tahan dari dalam. Di sinilah pemikiran Sumitro menjadi relevan: kita harus membangun ketahanan ekonomi dari akar rumput, melalui sistem pembiayaan rakyat yang kuat dan inklusif.

Alih-alih terlalu bergantung pada investasi asing dan pasar ekspor, Indonesia harus memperkuat UMKM, koperasi, dan sektor produksi rakyat. Bukan sekadar bantuan sosial, tapi lewat perluasan kredit mikro, dukungan teknologi, dan reformasi birokrasi agar akses pembiayaan menjadi lebih adil. Negara harus hadir sebagai fasilitator pembangunan, bukan hanya regulator atau penonton pasar.

Sumitro mengingatkan bahwa kemandirian tidak datang dari liberalisasi, tapi dari keberpihakan pada rakyat. Pemikiran Sumitro bukan sekadar nostalgia, tapi strategi jangka panjang: menghadapi guncangan global dengan membangun fondasi ekonomi yang berdaulat dari bawah. Jika "Tariff Liberation Day" adalah simbol kebebasan pasar, maka "Liberasi Kredit Rakyat" adalah jalan menuju kemandirian ekonomi nasional.

Saat kekuatan global mendorong liberalisasi dengan dalih efisiensi dan pertumbuhan, Indonesia harus menyusun ulang strategi pembangunan ekonominya. Momentum geopolitik ini bukan untuk tunduk, tapi untuk memperkuat posisi tawar lewat reformasi struktural, keberpihakan pada rakyat kecil, dan pembiayaan berbasis keadilan sosial. Kita perlu memilih: menjadi pasar pasif, atau membangun ekonomi yang hidup dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

*) Penulis adalah Peneliti Sygma Research and Consulting dan Dosen Universitas Negeri Surabaya