Mataram, 1/9 (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat nilai tukar petani (NTP) di daerah ini pada Juli 2009 mencapai 96,38 persen, meningkat 0,24 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Kepala BPS NTB, Mariadi Mardian, di Mataram, Selasa, mengatakan kenaikan ini disebabkan peningkatan indeks harga yang diterima petani sebesar 0,62 persen lebih besar daripada kenaikan harga yang dibayar petani sebesar 0,38 persen.
"Kenaikan NTP umumnya disebabkan kenaikan harga komoditas palawija, tanaman perkebunan rakyat dan penangkapan ikan lebih besar dibandingkan indeks yang dibayar petani," katanya.
NTP yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani (dalam persentase) merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di pedesaan.
NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.
"Semakin tinggi NTP secara relatif semakin kuat pula kemampuan atau daya beli petani," katanya.
Meskipun NTP di NTB mengalami peningkatan, namun tingkat kesejahteraan petani dinilai masih belum layak karena belum mencapai angka di atas 100 persen.
"Petani bisa dikatakan sejahtera apabila NTP-nya sudah melebihi angka 100 persen," ujar Mardian.
Nilai NTP di NTB juga jauh dari NTP Provinsi NTT yang mencapai 101,22 persen. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani di NTT lebih baik dibandingkan petani di NTB yang memiliki lahan yang cukup subur.
Menanggapi hal itu, Kepala Bidang Pelayanan Publik, Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional (Divre) NTB, Abdul Halim Mahmud Djenal, menilai kondisi petani di NTT jauh lebih baik dari NTB karena sebagian besar petani di NTT memiliki lahan perkebunan yang cukup luas.
"Meskipun komoditas yang dihasilkan sebagian besar dari sektor perkebunan tapi penguasaan lahan oleh petani di NTT lebih besar, sedangkan di NTB petaninya rata-rata memiliki lahan garapan yang kecil dengan jumlah anggota keluarga yang banyak," ujar Djenal yang pernah bertugas di NTT.
Untuk itu, kata dia, upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu melakukan reformasi agraria dan permudah petani memperoleh sarana produksi. Dengan begitu pendapatan yang diperoleh keluarga tani akan lebih tinggi.
"Selama ini petani masih kesulitan memperoleh sarana produksi dengan harga yang murah ketika memasuki musim tanam, belum lagi harga kebutuhan pokok di pedesaan yang harganya sama mahal dengan di kota," ujarnya. (*)