Nelayan Gelar Aksi Tolak Pengerukan Pasir Laut

id pengerukan pasir

Nelayan Gelar Aksi Tolak Pengerukan Pasir Laut

massa aksi yang tergabung dari ratusan nelayan Lombok Timur dan mahasiswa maupun organisasi kemasyarakatan, Senin, menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur NTB. (1)

"Jika kegiatan pengerukan ini terjadi, sama saja pemerintah telah membunuh hidup kami sebagai nelayan. Cuma di sana satu-satunya tempat kami mencari makan,"
Mataram, (Antara NTB) - Masyarakat Nelayan bersama sejumlah kelompok mahasiswa dan organisasi dari kalangan nelayan asal Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Senin, menggelar aksi unjuk rasa menolak pengerukan pasir laut di perairan setempat.

Sebelum menggelar orasinya di depan Kantor Gubernur NTB, seluruh massa aksi yang jumlahnya mencapai ratusan orang itu, mulai berjalan dari Simpang Empat Islamic Centre, Kota Mataram.

Sejumlah spanduk yang bertuliskan tolak izin pengerukan pasir laut di Lombok Timur dan bendera organisasi kemasyarkatan maupun kelompok mahasiswa ikut mengiringi aksi penolakan.

Saiful, nelayan asal Desa Tanjung Luar, dalam orasinya mengungkapkan bahwa hampir seluruh masyarakat yang ada didesanya bertumpu pada keberlangsungan laut di perairan yang akan dikeruk dan dijual untuk reklamasi di Teluk Benoa, Bali.

"Jika kegiatan pengerukan ini terjadi, sama saja pemerintah telah membunuh hidup kami sebagai nelayan. Cuma di sana satu-satunya tempat kami mencari makan," kata Saiful.

Maksud kedatangan Saiful bersama sejumlah kelompok massa aksi yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Perwakilan NTB untuk meminta Gubernur NTB jangan sampai menandatangani surat izin pengerukan pasir laut di perairan Lombok Timur.

"Kami minta dengan sangat kepada Gubernur NTB untuk mencabut dan menolak izin pengerukan pasir laut di tempat kami mencari nafkah ini," ujarnya.

Hal senada disampaikan Abdul Basir. Kepala Dusun Kampung Tengaq, Desa Tanjung Luar ini mengatakan bahwa dirinya bersama masyarakat nelayan meminta perlindungan agar tidak ada penerbitan izin pengerukan.

"Sekarang saja masih susah hidup dari hasil melaut, apalagi nanti jika izin pengerukan dikeluarkan, kami makan apa?" kata Abdul.

Ia mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat di Dusun Kampung Tengaq, umumnya di Desa Tanjung Luar, bekerja sebagai nelayan. "Sebagian besar dari masyarkat kami ini hidup dari hasil melaut," ucapnya.

Pendapatan yang diperoleh dari hasil melaut, menurut dia, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan.

Ia mengungkapkan keuntungan untuk satu kali melaut itu sebesar Rp150 ribu. Namun, keuntungan itu belum dipotong untuk membeli bensin yang sekali melaut sebanyak 10 liter.

"Belum kebutuhan lainnya, senar dan jaring jika dihitung keuntungan bersihnya Rp30 ribu. Apalagi, jika izin pengerukan itu benar dikeluarkan oleh pemerintah," kata Abdul.

Selain kelompok mahasiswa dan organisasi kalangan nelayan, massa aksi yang tergabung dalam FPR Perwakilan NTB itu sebagian besar berasal dari masyarakat Lombok Timur, antara lain berasal dari Desa Labuhan Haji, Desa Tanjung Luar, Desa Ketapang Raya, Desa Maringkik, Desa Kerta Sari, dan Desa Menceh.

Setelah sekitar 1 jam berorasi, pihak Pemprov NTB mengizinkan perwakilan massa aksi untuk bertemu dengan sekda setempat.

Sebanyak 10 orang perwakilan yang diizinkan masuk menyampaikan misinya untuk menolak izin pengerukan pasir laut di wilayah perairan Lombok Timur.

Dalam pertemuan yang relatif cukup alot hingga hampir menghabiskan waktu 1 jam lamanya bertatap muka dengan sekda, mereka mendapat penjelasan bahwa izin yang diberikan kepada pihak perusahaan pengerukan belum seutuhnya.

"Semua izin untuk pengerukan masih dalam proses, artinya ada kemungkinan pihak perusahaan akan mendapat izinnya, atau bahkan sebaliknya," kata Amin Abdullah, perwakilan nelayan dari Desa Tanjung Luar.

Amin yang ikut bersama sembilan orang perwakilan itu pun kemudian menilai ada peluang pihak perusahaan untuk mendapatkan izinnya. Pasalnya, sejumlah izin sudah ada yang dikantongi pihak perusahaan.

"Jadi, kami harus tetap berjuang mempertahankan agar izinnya ditolak, jangan sampai sumber mata pencaharian kami dimakan oleh mereka," ujarnya.

Usai mendengar suara Amin, massa aksi membubarkan diri dengan tertib sekitar pukul 14.00 WITA. Mereka tetap dengan pengawalan dari aparat kepolisian.(*)