Mataram (ANTARA) - Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram Hj Dewi Mardiana Ariany, mengatakan, kebijakan larangan anak bermain layangan pada lokasi yang bukan tempatnya merupakan bagian upaya perlindungan anak.
"Larangan tersebut tidak mempengaruhi target Kota Mataram menuju kota layak anak (KLA) tahun 2030," katanya kepada sejumlah wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat.
Pernyataan itu disampaikan menanggapi adanya anggapan sejumlah pihak yang menyebutkan Kota Mataram belum dapat dikatakan sebagai KLA karena menyandera hak anak bermain layangan.
Menurutnya, larangan anak bermain layangan itu jika dilakukan anak tidak pada tempat yang aman, seperti di jalan umum yang dapat berbahaya baik bagi anak maupun orang lain.
"Bagaimana kalau anak-anak lari di jalan mengejar layangan, lalu tertabrak kendaraan. Lalu bagaimana jika mereka bermain di jalan dan membahayakan nyawa orang lain yang melintas akibat benang layangan mereka dan masih banyak kasus lagi," katanya.
Lebih jauh, Dewi mengatakan, kebijakan larangan anak bermain layangan tersebut merupakan bagian kecil dari penilaian sebagai KLA, sebab masih banyak indikator lain yang harus diprioritaskan.
"Apalagi, tujuan larangan tersebut juga untuk melindungi anak dari hal-hal yang tidak diinginkan," katanya.
Menurutnya, untuk menjadi KLA ada lima klaster yang menjadi fokus penilaian yakni adalah klaster hak sipil, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan perlindungan khusus.
Tapi untuk tahun ini, penilai KLA ditiadakan karena adanya bencana COVID-19. Dimana hasil penilaian tahun 2019, Kota Mataram sudah berada pada peringkat madya.
"Untuk menjadi KLA, perjalanan kita masih panjang yakni harus melalui peringkat nindia, dan utama. Karena itu, untuk mewujudkan Mataram menjadi KLA semua sektor harus bergerak," katanya.
Dewi menambahkan, kendati tahun ini tidak ada penilaian KLA, namun pihaknya bersama pihak-pihak terkait lainya terus bergerak melakukan apa yang dapat dilaksanakan untuk mewujudkan KLA di Mataram.