BPS DATA SAPI DAN KERBAU BERDASARKAN PENGAKUAN

id

Mataram, 23/6 (ANTARA) - Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat mengandalkan pengakuan masyarakat dalam pendataan sapi potong, sapi perah dan kerbau, sejak 1-30 Juni 2011.

"Kami andalkan pengakuan pemilik ternak, karena kesulitan menghitung satu persatu jumlah ternak yang didata," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Soegarenda, di Mataram, Kamis.

Ia mengatakan, pemerintah menargetkan swasembada daging sapi dan kerbau sebesar 420 ribu ton pada 2014. Namun selama ini pemerintah belum memiliki data dasar yang memadai tentang jumlah ternak, sehingga perencanaan pengembangan kesejahteraan peternak masih terkendala.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) bekerjasama dengan BPS untuk melaksanakan Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau (PSPK) selama Juni 2011.

Kegiatan pendataan sapi dan kerbau itu berupaya upaya menghitung dan mengumpulkan informasi dasar terkait populasi ternak sapi dan kerbau yang meliputi jumlah, pola penyebaran, struktur populasi sapi dan kerbau, termasuk nama dan alamat peternak.

Pendataan tersebut mencakup pemelihara sapi potong, sapi perah, dan kerbau yang ditujukan untuk pengembangbiakan, penggemukan, pembibitan, dan atau perdagangan baik yang dilakukan oleh rumah tangga, perusahaan, atau unit usaha lain seperti Rumah Potong Hewan (RPH), asrama dan pesantren.

"Data yang ditanyakan mencakup nama dan alamat pemelihara ternak (rumah tangga, pedagang, dan perusahaan peternakan), jenis kelamin, umur, dan rumpun ternak, juga cara pemeliharaan, status kepemilikan ternak, mutasi ternak dan inseminasi buatan," ujarnya.

Hasil yang diharapkan dari kegiatan pendataan itu yakni diperolehnya data dasar jumlah ternak sapi potong, sapi perah dan kerbau tahun 2011, menurut umur, jenis kelamin, dan rumpun ternak.

Dengan diketahuinya stok sapi potong, sapi perah dan kerbau dalam negeri maka akan dapat mengurangi impor.

Hanya saja, kata Soegarenda, dalam proses pendataan petugas yang diterjunkan menemui kendala serius seperti rumah penduduk yang menekuni usaha ternak di kawasan perbukitan yang jauh dari akses jalan.

Areal penggembalaan dengan rumah tempat tinggal relatif jauh, sehingga yang ditemui hanya pemilik ternak.

"Karena itu pengakuan pemilik ternak yang menjadi dasar pendataan. Siapa yang bisa mengecek hingga ke semua lokasi ternak," ujarnya.

Ia menyontohkan kondisi perbukitan di wilayah Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi NTB, yang menyulitkan petugas pendata sapi dan kerbau dalam menghimpun data dan keterangan.

Kendala itu diyakini juga dialami petugas pendataan PSPK 2011 di daerah lain di Indonesia.

"Memang petugasnya cukup banyak yakni ada 2.000 orang lebih, tapi masih saja kesulitan menemui semua area pemeliharaan ternak. Apalagi, seringkali terjadi pemindahan ternak tanpa didukung laporan pemindahannya," ujarnya.

Untuk menjaga keakuratan data, tambah Soegarenda, pihaknya berencana menggunakan metode Post Enumerations Survey (PES) yakni metode pencatatan informasi dalam pengumpulan data yang mengombinasikan wawacara langsung dan tidak langsung.

Penggunaan metode PES itu sudah diajukan ke BPS pusat agar dapat digunakan setelah pendataan PSPK 2011 dirampungkan.

"Dengan metoda PES itu diharapkan terhimpunnya data jumlah sapi dan kerbau yang lebih akurat," ujarnya.

Soegarenda mengakui, BPS NTB belum memiliki data terbaru tentang jumlah sapi dan kerbau di Pulau Lombok maupun Sumbawa serta pulau kecil (gili) yang menyebar di wilayah NTB.

"Data terakhir jumlah sapi dan kerbau di NTB hanya hasil pendataan 40 tahun lalu," ujarnya. (*)


Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.