Lombok Barat, NTB, 6/7 (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat meningkatkan pengawasan terhadap persekongkolan perajin batik lintas daerah, agar kualitas dan harga jual batik khas daerah dapat dipertahankan.
"Kami terus mengawasinya dan kami larang perajin batik di daerah ini bersekongkol dengan perajin batik dari Jawa dan daerah lainnya dalam memproduksi batik yang dipesan konsumen," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Imam Maliki, saat meninjau industri batik Sasambo di Giri Menang, Kabupaten Lombok Barat, Rabu.
Sasambo merupakan akronim dari nama tiga suku di NTB yakni Sasak, Samawa dan Mbojo, dan batik Sasambo merupakan salah satu produk unggulan daerah yang terus dikembangkan dan dipasarkan di dalam negeri maupun luar negeri.
Industri batik Sasambo di Giri Menang, Lombok Barat yang dikelola Lalu Darmawan itu merupakan satu dari 10 sentra industri batik di wilayah NTB.
Tujuh sentra industri batik berada di Pulau Lombok yakni Kota Mataram, Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok Tengah, dan tiga sentra industri batik di Pulau Sumbawa yakni Kota Bima dan Kabupaten Sumbawa.
Batik Sasambo merupakan batik khas NTB yang menggunakan motif produk kerajinan, komoditi unggulan daerah seperti sapi, jagung dan rumput laut, dan motif khas lainnya yakni gendang besar (beleq).
Imam mengatakan, salah satu perajin batik Sasambo di sentra industri di Kota Bima sempat teridentifikasi bekerja sama dengan perajin batik di Pulau Jawa, untuk memproduksi batik khas NTB yang dipesan konsumen.
"Kami sudah tegur perajin itu, karena perbuatannya dapat memengaruhi kualitas batik khas NTB dan tentu menganggu stabilitas harga batik khas daerah. Kalau masih melakukannya tentu ada sanksinya," ujarnya.
Batik khas NTB yang diproduksi di Pulau Jawa kemudian dijual di wilayah NTB relatif lebih murah dari batik serupa yang diproduksi di Pulau Lombok dan Sumbawa.
Iman juga mengingatkan pengelola industri batik Sasambo di Giri Menang, Kabupaten Lombok Barat, Lalu Darmawan, agar tidak melakukan hal itu, karena dapat merusak citra industri batik di wilayah NTB.
Darmawan yang juga pembina industri batik Sasambo di sejumlah sentra batik di Pulau Lombok, termasuk di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Mataram, langsung menyambut positif larangan tidak bersekongkol dengan perajin luar daerah NTB itu.
"Insya Allah, saya tidak akan melakukan seperti itu meskipun saya punya teman di Jawa yang bisa bekerja sama. Saya juga ingin batin khas NTB terkenal dan berkualitas hingga masa mendatang," ujarnya.
Darmawan mengaku industri kerajinan batik khas NTB yang dikelolanya itu telah mampu memproduksi 40 sampai 50 lembar sehari, baik batik tulis, maupun cap. Setiap lembar kain batik yang dihasilkan berukuran 2,5 meter.
Setiap lembar kain batik itu dijual dengan harga berkisar antara Rp130 ribu hingga Rp200 ribu, tergantung jenis motif dan kualitasnya. Khusus batik sutra dijual dengan harga Rp300 ribu/lembar.
Dalam menjalankan usaha kerajinan batik khas NTB itu, Darmawan mendapat dukungan dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp175 juta, selain dana pembinaan dari Bank Pembangun Daerah NTB (Bank NTB).
"Saya masih bisa kembangkan usaha ini agar mampu memproduksi 200 sampai 500 lembar setiap hari, asalkan beroperasi dengan modal Rp500 juta. Saat ini modal dan aset baru Rp300 juta," ujarnya.
Dia pun bersedia menjual batik produksinya dengan harga yang lebih murah dari batik khas NTB yang diproduksi di Pulau Jawa, asalkan ada dukungan dana subsidi dari pemerintah daerah.
Mendengar permintaan perajin batik itu, Kepala Disperindag Provinsi NTB Lalu Imam Maliki, berjanji akan mengkoordinasikan hal itu dengan para pihak terkait, termasuk lembaga perbankan. (*)