Ketahanan ekonomi Indonesia di tengah resesi dunia

id Resesi Global,Ekonomi Indonesia,Pembukaan Ekonomi,The Fed

Ketahanan ekonomi Indonesia di tengah resesi dunia

Arsip foto - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menghadiri kegiatan dialog bersama yang digelar oleh Tri Hita Karana sebagai salah satu kegiatan Road to G20 pada Selasa (24/5/2022), di Davos, Swiss. ANTARA/HO-Humas ekon.go.id/pri.

Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 belum usai, namun berbagai risiko global pun sudah banyak bermunculan mulai dari konflik Rusia dan Ukraina, melonjaknya harga komoditas, ancaman inflasi, hingga pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan berbagai negara di dunia.

Dengan berbagai kekhawatiran tersebut, pertumbuhan global tampaknya akan melambat tajam tahun ini, yang juga memicu kekhawatiran resesi. Untuk ekonomi global secara keseluruhan, risiko resesi pada tahun 2022 memang masih tampak terbatas.

Pembukaan kembali ekonomi, simpanan yang tinggi, permintaan, dan pasar tenaga kerja yang ketat berpotensi untuk mendukung pertumbuhan global tahun ini di tengah kebijakan moneter yang lebih ketat dan melonjaknya harga komoditas.

Namun, untuk tahun 2023, risiko ekonomi dunia mengalami resesi meningkat. Kenaikan suku bunga tahun ini kemungkinan akan dirasakan lebih pada tahun 2023 dan efek dari pembukaan kembali juga kemungkinan akan memudar pada tahun depan.

Bank Sentral AS, The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) pada bulan Juni dan Juli setelah 50 bps awal pada bulan Mei menjadi 0,75 persen sampai satu persen.

Otoritas moneter Negeri Paman Sam juga kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga hingga mencapai 2,75 persen sampai tiga persen pada awal tahun depan, sehingga kenaikan suku bunga Fed ini berpotensi membatasi pertumbuhan pada tahun 2023.

Baca juga: Bank Dunia membantu reformasi sektor keuangan Indonesia 400 juta dolar AS

Selain menaikkan suku bunga acuan, The Fed juga merencanakan normalisasi neraca atau balance sheet dengan pengurangan 47,5 miliar dolar AS per bulan mulai Juni 2022 dan pengurangan 90 miliar dolar AS per bulan mulai September 2022.

Langkah pengetatan kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi tingkat inflasi yang terus mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu tinggi dikhawatirkan akan mendorong ekonomi melambat atau justru masuk ke era stagflasi.

Tak hanya Fed, Bank Sentral Inggris atau Bank Of England (BoE) kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga pada bulan Mei dan seterusnya, baik pada bulan Juni atau Agustus sebesar 25 bps sampai suku bunga bank mencapai setidaknya 1,25 persen.

Bank Sentral Eropa (ECB) juga kemungkinan akan mengajukan kenaikan suku bunga tahun ini mengingat inflasi zona Eropa berada pada rekor tertinggi.

ECB diperkirakan mengakhiri pelonggaran kuantitatif selama musim panas dan mulai menaikkan suku bunga deposito dari minus 0,50 persen dengan peningkatan 25 bps setiap tiga bulan dari Juli.

Sebaliknya, Bank of Singapore memperkirakan Bank Sentral Jepang (BOJ) akan mempertahankan suku bunga depositonya tidak berubah pada minus 0,1 persen karena inflasi yang tak termasuk biaya makanan dan energi tetap jauh di bawah target dua persen di Jepang.

Sementara Bank Sentral China (PBOC) diperkirakan menahan diri dari kenaikan suku bunga karena pertumbuhan Tiongkok menderita akibat lockdown yang ketat.

Di tengah tekanan ekonomi global yang menantang, fundamental Indonesia semakin membaik, salah satunya terlihat dari aktivitas manufaktur yang masih berekspansi pada bulan April ke level 51,9, dari sebelumnya 51,3.

Baca juga: Lombok Tengah jadi percontohan pengembangan jagung dari Bank Dunia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal I-2022 juga bertumbuh 5,01 persen, lebih baik dari estimasi. Sementara di bulan April, terjadi inflasi sebesar 3,47 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021.

Aktivitas ekonomi di Tanah Air terlihat semakin pulih seiring dengan COVID-19 yang terkendali dan kekebalan imunitas yang meningkat.

Tangguhnya ekonomi RI juga tercermin dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang tetap terjaga, sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal. Kinerja NPI pada triwulan I-2022 yang tetap terjaga didukung oleh surplus transaksi berjalan yang berlanjut, serta defisit transaksi modal dan finansial yang membaik dibandingkan triwulan sebelumnya.

Surplus transaksi berjalan pada triwulan I-2022 mencapai 200 juta dolar AS atau 0,07 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), ditopang oleh surplus neraca perdagangan nonmigas yang tetap kuat seiring dengan harga ekspor komoditas global yang masih tinggi.

Pada April 2022, neraca perdagangan kembali mencatat surplus, yakni 7,6 miliar dolar AS, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus bulan sebelumnya sebesar 4,5 miliar dolar AS dan merupakan yang tertinggi dalam sejarah.

Adapun posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2022 tercatat sebesar 135,7 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.

Dari pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat 2,22 persen ke level 7.728 di bulan April. Penguatan tak terlepas dari derasnya aliran dana investor asing yang mencapai sekitar 2,78 miliar dolar AS. Dengan perkembangan tersebut, investor terlihat masih optimistis akan prospek perekonomian domestik.

Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun mengalami kenaikan selama bulan April, yakni dari awal bulan di level 6,728 persen ke 6.986 persen.

Kenaikan tersebut mengikuti imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun yang menyentuh level tertinggi di kisaran 3,1 persen, seiring dengan kenaikan suku bunga The Fed.

Walaupun potensi kenaikan lanjutan dari imbal hasil berisiko memicu aliran modal asing dari pasar obligasi Indonesia, namun kepemilikan asing saat ini sudah cukup rendah di bawah 20 persen yang bisa menopang stabilitas pasar keuangan domestik dari goncangan ekonomi global.

Sementara itu, mata uang rupiah melemah 0,83 persen sepanjang bulan lalu dan ditutup pada level Rp14.482 per dolar AS di akhir bulan. Pelemahan mata uang Garuda diperkirakan akan berlanjut di tengah penguatan dolar AS akibat kebijakan moneter The Fed.

Bank OCBC NISP memperkirakan kurs Garuda akan berada di kisaran Rp14.408 per dolar AS hingga akhir tahun. Di sisi lain, BI akan terus mencermati perkembangan dan memastikan berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

Meski berbagai risiko menekan ekonomi dunia, perekonomian Indonesia nyatanya mampu bertahan dengan cukup baik sejauh ini berkat seluruh upaya baik dari pemangku kebijakan, pelaku usaha, dan pihak lainnya, yang meningkatkan optimisme masyarakat. Kuatnya koordinasi saat ini diharapkan bisa dipertahankan agar Indonesia tak mudah terguncang kekhawatiran resesi yang meningkat di global.