Mataram (ANTARA) - Mahasiswa KKN Tematik Universitas Mataram melaksanakan berbagai kegiatan progam kerja yang dilaksanakan di Desa Tetebatu, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur.
Desa Tetebatu sendiri merupakan salah satu desa wisata tertua NTB dan sudah menjadi destinasi wisata sejak pemerintahan kolonial Belanda.
Desa yang terletak di 700 Mdpl ini menjadi tempat "favorit" wisatawan lokal maupun asing dikarenakan keasrian dan pemandangannya yang indah seperti persawahan serta air terjun yang tidak kalah cantiknya.
Desa Tetebatu juga merupakan Desa Wisata yang mewakili Indonesia dalam ajang perlombaan Desa Wisata Terbaik (Best Tourism Village) dalam ajang perlombaan tersebut yang disenggarakan oleh organisasi pariwisata dunia (UNWTO) pada tahun 2021 lalu.
Desa Tetebatu dikenalkan kepada wisatawan oleh seorang dokter yang berasal dari Malang, Jawa Timur dengan nama Raden Soedjono. Beliau awalnya datang dan menetap di Desa Tetebatu pada tahun 1913 dengan tujuan mengobati wabah penyakit kusta dan diare yang sedang melanda masyarakat pada saat itu. Karena keindahan alamnya, Dr R Soedjono mengajak teman-temannya yang berasal dari Belanda untuk sekaligus memanjakan mata akan pesona keindahan Tetebatu.
Kelompok KKN Tematik UNRAM Desa Tetebatu yang beranggotakan 10 mahasiswa dengan dosen pembimbing Prof Drh Adji Santoso Drajat MPhil PhD Program kerja yang dicanangkan bertujuan untuk mengetahui pemulihan pariwisata di Desa Tetebatu pasca pandemi COVID-19, yakni berbentuk identifikasi budaya, identifikasi destinasi wisata dan identifikasi kuliner sebagai program kerja utama, serta terdapat beberapa program kerja tambahan seperti Sosialisasi Zero Waste, English Class
Sebelum terjadi pandemi COVID-19, target wisatawan Desa Tetebatu hanya wisatawan asing saja, sedangkan pada masa pandemi, target wisatawan berubah menjadi wisatawan lokal. Setelah pandemi atau masa pemulihan, target wisatawan Desa Tetebatu menjadi wisatawan asing dan lokal. Saat ini, destinasi wisata yang dikenal oleh wisatawan terdiri dari beberapa air terjun (Sarang Walet, Durian Indah, Lembah Rinjani, Tibu Bunter, Tibu Topat), Kolam Alam Mencrit, Taman Ulem-Ulem, dan Kebun Salak.
Untuk budaya sendiri Desa Tetebatu memiliki adat istiadat yang tidak tergerus arus globalisasi dan masih terjaga hingga saat ini, seperti Bubur Putek dan Bubur Beak. Hal ini dikarenakan Desa Tetebatu melihat adanya potensi pada aspek budaya sebagai tujuan wisata yang dapat disuguhkan. Selain bubur putek dan bubur beak, Tetebatu juga memiliki budaya dan kearifan lokal yang sangat beragam untuk ketahanan pangan atau pertanian yang tentunya memiliki keunikan tersendiri. Budaya-budaya tersebut kemudian dijadikan sebagai tahapan ritual, yaitu Nyelametang Pengmpel, Nanjek Nao (Nyenyawek), Rantok (Bgegendong), Roro Serban, dan Ngangsor Gegadang.
Sedangkan dalam kuliner, kami mengidentifikasi kuliner Tetebatu yang hampir sama dengan makanan khas Sasak pada umumnya seperti pelecing, ares dan lain-lain. Kami juga menciptakan kuliner khas Tetebatu yang bernama “Nasi Ulem-Ulem” dengan urap pakis sebagai pemeran utamanya. Dalam menciptakan kuliner khas Tetebatu, kami dibimbing oleh Prof. Adji dan bermitra dengan TNGR (Taman Nasional Gunung Rinjani) serta Pokdarwis. “Kami berharap dengan adanya ‘Nasi Ulem-Ulem’ kedepannya akan menjadi makanan khas yang dapat disuguhkan kepada wisatawan lokal maupun internasional” ujar Prof. Adji selaku Dosen Pembimbing Lapangan KKN Tematik Unram Desa Tetebatu.
Kami berharap dengan adanya program kerja ini kami dapat membatu proses pemulihan Desa Tetebatu pasca Pandemi Covid-19 meniadi desa pariwisata internasional baik dari segi budaya, destinasi wisata dan kulinernya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepala Desa Tetebatu saat penerimaan KKN Universitas Mataram di Aula Kantor Desa Tetabatu “Dengan adanya KKN Tematik UNRAM, kami harap dapat membantu perkembangan dan pengelolaan pariwisata di Desa Tetebatu, khususnya pada masa pemulihan pasca pandemic Covid-19 ini”.
Penulis: Tasya Putri Amelia & Barlianty Sandia
Mahasiswa KKN Unram: pemulihan pariwisata di Desa Tetebatu pasca pandemi COVID-19
sudah menjadi destinasi wisata sejak pemerintahan kolonial Belanda.