Hakim minta jaksa menghadirkan kembali dalang korupsi BPR Rp2,38 miliar

id sidang korupsi,kredit fiktif,bpr batukliang,catut nama,anggota polri,pengadilan mataram,konfrontasi

Hakim minta jaksa menghadirkan kembali dalang korupsi BPR Rp2,38 miliar

Saksi Moch. Bagus Arianto (kiri) berdiri usai memberikan keterangan dalam perkara korupsi kredit fiktif BPR Cabang Batukliang dengan kerugian Rp2,38 miliar ke hadapan majelis hakim di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, NTB, Kamis (22/9/2022). ANTARA/Dhimas BP

Mataram (ANTARA) - Ketua majelis hakim Ketut Somanasa meminta jaksa penuntut umum menghadirkan kembali Made Sudarmaya, anggota Polri yang menjadi dalang korupsi kredit fiktif pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Cabang Batukliang, Nusa Tenggara Barat, dengan kerugian Rp2,38 miliar.

"Dipersilakan kepada jaksa penuntut umum untuk menghadirkan kembali Made Sudarmaya sebagai saksi di agenda persidangan selanjutnya," kata Somanasa dalam sidang korupsi kredit fiktif BPR Cabang Batukliang dengan terdakwa Agus Fanahesa dan Johari di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Kamis.

Somanasa menegaskan kepada jaksa penuntut umum untuk menghadirkan saksi Made Sudarmaya bersama saksi Moch. Bagus Arianto, anggota Polri yang memberikan keterangan dalam persidangan hari ini.

"Meminta menghadirkan secara bersama-sama kedua saksi agar keterangan mereka bisa di konfrontasi," ujarnya.

Perintah hakim kepada jaksa penuntut umum merupakan tanggapan dari permintaan Hartono, penasihat hukum terdakwa Johari yang berperan sebagai "Account Officer" pada BPR Cabang Batukliang.

Kepada hakim, Hartono sebelumnya menguraikan alasan permintaan konfrontasi tersebut perihal munculnya nama saksi Bagus Arianto dalam daftar pengajuan kredit.

Nama Bagus Arianto tercatat sebagai salah seorang yang mewakili pengajuan kredit untuk 32 dari 199 anggota Polri.

Total pencairan kredit yang berada di bawah nama Bagus Arianto tercatat dalam periode 2014-2016. Nilai pinjaman yang dicairkan Rp495 juta dengan kisaran per orang Rp15 juta hingga Rp30 juta.

Dalam persidangan, Bagus Arianto mengaku tidak mengetahui ada nama dirinya sebagai orang yang mewakili pengajuan kredit 32 anggota Polri tersebut.

"Saya cuma tahu ada MoU Polda NTB dengan BPR. Tahunya itu dari teman ke teman," ujar Bagus yang mengaku pernah menjadi bawahan Sudarmaya ketika bertugas di Direktorat Sabhara Polda NTB.

Bagus juga mengakui proses peminjaman di BPR tidak sulit karena sudah dibantu oleh Sudarmaya yang saat itu menjabat Perwira Administrasi Urusan Keuangan Direktorat Sabhara Polda NTB.

"Katanya lancar, ada kemudahan, makanya saya pernah ajukan (pinjaman) melalui Sudarmaya. Jadi, pencairan langsung ke rumah Sudarmaya," ucap dia.

Bagus Arianto mengatakan selama mengajukan kredit melalui Sudarmaya, dirinya tidak pernah menandatangani perjanjian kredit dengan pihak BPR.

"Syarat apa saja, itu saya lupa. Tetapi waktu itu, saya hanya dapat kuitansi tanda terima dari BPR. Soal itu (perjanjian kredit), tidak ada," katanya.

Keterangan dari Bagus Arianto ini berbeda dengan Sudarmaya yang mengaku dalam agenda sidang sebelumnya bahwa dirinya tidak sendiri yang terlibat dalam pengajuan kredit 199 anggota Polri tersebut. Kepada hakim, Sudarmaya mengaku ada lima orang yang terlibat, salah satunya Bagus Arianto.

Terkait adanya perbedaan keterangan tersebut yang kemudian menjadi dasar penasihat hukum Johari meminta untuk konfrontasi keterangan antara Sudarmaya dengan Bagus Arianto.

Sebelum hakim memberikan perintah kepada jaksa penuntut umum menghadirkan kedua saksi, Bratha Hariputra, jaksa penuntut umum menanggapi-nya dengan meminta agar sidang berlanjut dengan agenda saksi lain.

Jaksa penuntut umum beralasan saksi Sudarmaya sudah cukup jelas menyampaikan keterangan dalam agenda sidang sebelumnya.

Jaksa juga mempertimbangkan efisiensi waktu persidangan yang masih banyak agenda saksi lain harus memberikan keterangan ke hadapan majelis hakim.

Dalam perkara ini, Johari menjadi terdakwa bersama Agus Fanahesa yang menjabat sebagai Kepala Pemasaran BPR Cabang Batukliang.

Keduanya didakwa turut terlibat terkait munculnya kredit fiktif 199 anggota Polri hingga menimbulkan kerugian Rp2,38 miliar. Kerugian itu muncul dalam periode pencairan kredit 2014-2017.

Karena itu, dalam dakwaan kedua terdakwa didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31/2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.