Mataram (ANTARA) - Terdakwa korupsi proyek pembangunan gedung Tempat Evakuasi Sementara (TES) atau Shelter Tsunami di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Aprialely Nirmala menyebut surat dakwaan jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah.
"Bahwa ada beberapa hal yang perlu ditanggapi secara seksama mengingat di dalam surat dakwaan tersebut terdapat kekaburan, kejanggalan dan tidak jelas sehingga patut kami ajukan eksepsi atau keberatan ini," kata Ketua tim penasihat hukum terdakwa Aprialely Nirmala, Aan Ramadhan, saat membacakan eksepsi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat.
Dia menyampaikan bahwa perkara dugaan korupsi pada proyek pembangunan yang berjalan pada tahun 2014 ini pernah masuk dalam bentuk laporan masyarakat ke Polda NTB tahun 2015.
"Bahwa terhadap laporan tersebut, telah dilakukan serangkaian penyelidikan sesuai penerbitan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Sprin-Lidik/10/I/2016/Dit.Reskrimsus, tanggal 5 Januari 2016," ujar dia.
Baca juga: Terdakwa shelter tsunami ajukan eksepsi terkait penanganan kasus serupa di Polda NTB
Selanjutnya, kata dia, pada 9 Mei 2016, penyelidik dari Polda NTB menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP).
"Adanya SP2HP ini baru diketahui oleh terdakwa satu (Aprialely Nirmala) pada Januari 2025, ketika penyidik KPK melaksanakan tahap dua atau melimpahkan tersangka dan berkas perkara ke jaksa penuntut umum. Surat itu diterima dalam format PDF," ucapnya.
Dengan menguraikan hal tersebut, penasihat hukum Aprialely menyatakan bahwa terdakwa hingga kini belum mendapatkan informasi tentang kepastian hukum dari penanganan perkara serupa di Polda NTB.
Dalam eksepsi, Aprialely mengaku mengetahui KPK menangani perkara serupa pada tahun 2022. Hal itu diperkuat dengan adanya penerbitan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin-Dik 27/DIK. 00/23/03/2023, tanggal 7 Maret 2023.
"Selanjutnya, pada 19 April 2024, terdakwa satu (Aprialely Nirmala) ditetapkan sebagai tersangka," katanya.
Baca juga: Sidang perkara korupsi shelter tsunami digelar di Pengadilan Mataram
Dalam rangkaian penanganan di KPK, Aprialely Nirmala tidak pernah mendapat penjelasan dari KPK perihal status perkara tersebut.
"Tidak pernah dijelaskan kepada terdakwa satu (Aprialely Nirmala), baik secara lisan maupun tulisan bahwa penanganan perkara di KPK ini merupakan rangkaian kerja sama penanganan antara Polda NTB dengan KPK atau secara terpisah tanpa kerja sama atau koordinasi sama sekali," kata dia.
Dengan kondisi tersebut, penasihat hukum merujuk pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidikan hanya dapat dilakukan oleh satu lembaga penegak hukum yang berwenang dan Pasal 110 KUHAP yang menerangkan penyidikan dapat dilakukan bersama-sama, jika ada kesepakatan antara dua lembaga penegak hukum.
"Menurut hemat penasihat hukum, kesepakatan ini haruslah dibuat tertulis dan juga tertuang dalam berita acara pemeriksaan perkara ini. Namun, hal itu tidak dilakukan oleh penyidik KPK," ujarnya.
Baca juga: Tersangka shelter tsunami bakal ungkap penanganan Polda NTB di sidang
Dengan menyampaikan hal tersebut, penasihat hukum beranggapan ada kekeliruan dalam penegakan hukum yang dilakukan penyidik KPK, baik dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, karena telah melanggar ketentuan hukum acara pidana.
"Maka, tentunya menurut hemat penasihat hukum, hal ini berimplikasi pada tidak sahnya penyidikan dan segala barang bukti yang menjadi barang bukti dalam perkara a quo," ucap dia.
Adanya kekeliruan tersebut juga berimplikasi pada tidak sahnya surat dakwaan penuntut umum dari KPK.
"Karena perkara a quo, oleh karenanya patut apabila majelis hakim yang mulia menyatakan secara hukum dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima," kata Aan.
Baca juga: KPK tahan dua tersangka shelter tsunami di dua lapas Lombok
Usai mendengar pembacaan eksepsi terdakwa Aprialely Nirmala, majelis hakim mempersilakan kepada jaksa penuntut umum untuk memberikan tanggapan pada sidang lanjutan, Rabu (5/2).
Dalam sidang tersebut, hanya terdakwa Aprialely Nirmala yang menyampaikan eksepsi. Untuk terdakwa dua, Agus Herijanto tidak mengajukan eksepsi dan mempersilakan kepada majelis hakim untuk melanjutkan ke tahap pembuktian melalui pemeriksaan saksi dari jaksa penuntut umum.
Baca juga: PN Mataram tetapkan majelis hakim persidangan korupsi shelter tsunamiBaca juga: PN Mataram sidangkan perkara korupsi shelter tsunami pada 22 Januari 2025