"Jika menilik sejarah kebangsaan dan kebersamaan di NTB, faham radikal sesungguhnya tidak pernah ada di NTB," kata Kepala Dinas Sosial (Dinsos) NTB, Ahsanul Khalik mewakili Gubernur NTB, Zulkieflimansyah saat menjadi pembicara pada dialog kebangsaan dengan tema "Potret Radikalisme di NTB" di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Jumat.
Akan tetapi, menurut Ahsanul, sejalan dengan perkembangan kehidupan global, masyarakat NTB juga mulai ada yang terpengaruh dengan isme-isme yang ada dan berkembang secara global dan kemudian mulai ada yang membawa-nya ke NTB.
Aka sapaan akrabnya mengatakan ada tiga kelompok yang mencoba menginternalisasikan di tengah masyarakat, termasuk di NTB, yaitu pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tuntunan hukum agama.
Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan cara memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri militan dan ditunjukkan melalui sikap keagamaan bersemangat tinggi hingga berhaluan keras.
"Bahkan, kelompok ini tak segan melakukan penolakan frontal terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan bersikukuh ingin menjadikan syariah sebagai penggantinya," kata AKA.
Menurut dia, dalam kaitan ini, paham radikalisme yang di instrumentalisasi dalam berbagai bentuk dan maksud oleh kelompok-kelompok revivalis dilatari oleh beberapa persepsi dan alasan, seperti ketidakadilan yang dialami rakyat, korupsi yang menggurita, krisis ekonomi-politik, dan kesenjangan kaya miskin.
"Dalam anggapan mereka, ini terjadi karena sistem negara Indonesia yang terlalu berkiblat kepada demokrasi dan "memberhalakan" Pancasila," ujarnya.
Baca juga: Pemkot Bekasi ajak warga wariskan Pancasila ke generasi muda
Baca juga: Ketua MPR meminta Pemuda Pancasila kedepankan kepentingan bangsa
Oleh karena itu, kata AKA, kelompok ini mengajukan syariah sebagai satu-satunya pandangan dunia (world view) yang harus dijadikan sebagai landasan konstitusi maupun dasar negaranya.
"Kita di NTB, mulai dari pemerintah, tokoh agama Islam utamanya, tokoh masyarakat dan para ulama kalau bicara tentang Islam dan Pancasila, maka kita akan menyebutnya pada satu tarikan nafas, bahwa tidak dibedakan dan tidak dikotak-kotakkan, seiring sejalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," terang AKA.
.