Baiq Mirdiati & Kegelisahan tentang Nasib TKI

id TKI

Baiq Mirdiati & Kegelisahan tentang Nasib TKI

Baiq Mirdiati akan memberikan pelatihan agar warga punya skill dan tidak terfokus ingin jadi TKI (Tri Vivi Suryani)

Realita bahwa tidak semua TKI beruntung setelah bekerja di luar negeri, membuat saya tergerak ingin berbuat sesuatu. Saya berencana membuat pelatihan untuk meningkatkan `skill` masyarakat.
Kehidupan serba berpeluh keringat dan air mata yang dialami para tenaga kerja Indonesia (TKI), yang terpaksa meninggalkan keluarga untuk mencari penghidupan di luar negeri, menerbitkan keprihatinan tak terkira bagi Hj Baiq Mirdiati.

"Sudah kerja jadi TKI bertahun-tahun, belum tentu ketika pulang kehidupannya menjadi lebih baik," ujar anggota DPRD Kota Mataram periode 2014-2019 Fraksi Partai Gerindra ini, menyiratkan kegelisahannya.

Terdorong ingin memperbaiki nasib TKI, menjadi latar utama istri dari Kompol H Mandra ini terpanggil untuk menjadi anggota dewan, supaya bisa mewakili suara rakyat. Khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah.

Selama ini, Baiq Mirdiati mengamati masyarakat di Kota Mataram lebih banyak yang mengambil jalan pintas menjadi TKI untuk mencari memperbaiki roda perekonomian. Padahal, menjadi TKI bukan menjadi jaminan seseorang akan mereguk kesuksesan.

Memang ada sejumlah orang yang sukses pascabekerja menjadi TKI. Gaji yang ditabung setelah bekerja bertahun-tahun, lantas digunakan untuk modal mendirikan bisnis.

Akan tetapi, di sisi lain ada juga TKI yang mengalami nasib buruk karena gajinya selama bekerja tidak dibayarkan, atau bahkan mendapat perlakuan kurang manusiawi dari majikannya.

Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Barat (NTB), diperkirakan yang menjadi penyebab masyarakat memilih pekerjaan sebagai TKI adalah susahnya mendapatkan pekerjaan di daerah asal. Sementara itu, jika bekerja di luar negeri, maka mereka beranggapan bahwa pendapatan yang didapatkan jauh lebih baik dan layak. Hal ini yang menyebabkan penduduk NTB banyak mengadu nasib menjadi TKI ke luar negeri.

Tercatat TKI resmi asal NTB sebanyak 56.150 telah ditempatkan pada tahun 2010, meningkat menjadi 58.230 orang tahun 2011, sedangkan tahun 2012 jumlahnya adalah 37.020 orang, atau mengalami penurunan sebesar 36,42 persen dari tahun 2011. Daerah asal TKI yang terbanyak berasalah dari daerah-daerah yang jumlah penduduknya besar, seperti Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Tengah.

Sebagian besar TKI laki-laki yang berasal dari NTB memiliki latar belakang pekerjaan sebagai seorang petani. Terkait dengan latar belakang ini, maka mereka tidak banyak menemui kesulitan ketika ditempatkan di ladang kelapa sawit. Baik sebagai tenaga penanam, pemelihara maupun pemetik buah kelapa sawit. TKI resmi NTB mayoritas mengadu nasib ke Malaysia (32.271orang), selebihnya tersebar ke Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Hongkong, Taiwan dan lain-lain.

"Namun, realita bahwa tidak semua TKI beruntung setelah bekerja di luar negeri, membuat saya tergerak ingin berbuat sesuatu. Saya berencana membuat pelatihan untuk meningkatkan `skill` masyarakat, sehingga bisa mandiri tanpa harus bergantung hidup dengan menjadi TKI," ucap nenek lima cucu ini.

Setelah menguasai skill, namun seseorang lebih suka bertetapan memilih profesi sebagai TKI, maka diharapkan akan menjadi tenaga kerja andal, bukan semata diperlukan fisiknya belaka untuk menjadi buruh kasar.

"Kalau mereka telah memiliki skill, tentu ada penghargaan lebih, dan TKI akan mendapat gaji yang lebih bagus. Ini yang ingin saya kerjakan, maka saya berencana melakukan pelatihan," katanya.


                  Wirausaha


Ketidakmenentuan nasib seseorang jika memilih bekerja menjadi TKI, membuat Baiq Mirdiati berniat memandirikan masyarakat agar bisa membuka wirausaha sesuai potensi daerah masing-masing.

"Kalau menjalankan wirausaha, tentu masyarakat tidak terfokus ingin menjadi TKI saja. Bisa bisnis kerajinan, jual sembako, usaha mutiara seperti di kawasan Sekarbela, dan masih terbuka peluang usaha lainnya," ucap dia.

Melalui bidang kewirausahaan, maka akan tercipta lapangan kerja baru. Tidak hanya bagi pelaku usaha, namun jika bisnis berkembang otomatis akan merekrut masyarakat di sekitarnya sebagai karyawan, sehingga dalam jangka waktu tertentu akan berimbas dalam meningkatkan tingkat ekonomi di wilayah tersebut.

Tidak menutup kemungkinan, lanjutnya, masyarakat diarahkan membuka wirausaha di bidang ternak kambing, ayam, ikan dan lainnya, mengingat permintaan pasar selalu kontinyu dan tidak pernah surut. Sedangkan bagi ibu-ibu, selain mengurus rumah tangga, mereka dapat berjualan `bakulan` atau kios sembako untuk kebutuhan sehari-hari.

"Nanti diupayakan ada pemberian modal disertai pengenalan manajemen usaha. Kalau diberi modal saja tanpa mengetahui untuk diapakan uangnya, tentu akan habis begitu saja," ujar wanita berusia 50 tahun ini.

Baiq Mirdiati menekankan, keinginannya menjadi anggota DPRD Kota Mataram, memang lebih banyak dikarenakan ingin memberdayakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Di samping itu, mengingat kedua anaknya, Budiarto dan Sandra, telah menikah dan menjalani profesi masing-masing, maka bagi wanita ini, dirinya meyakini jika sudah saatnya untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Bukan semata mengabdi kepada keluarga saja.

"Mengingat keluarga sudah beres, maka saya dengan seizin suami berani mengambil tanggung jawab sebagai anggota dewan, dan saya memang sungguh-sungguh ingin melakukan amanah rakyat," ujar dia.

Setelah bergabung dengan Partai Gerindra, dan melaksanakan kampanye dengan pendekatan kerakyatan tanpa janji-janji muluk, Baiq Mirdiati bersyukur masyarakat ternyata memberi kepercayaan padanya.

"Saya bersyukur karena meraih suara terbanyak di dapil Mataram dan Sekarbela yang mencapai 2.353 suara. Kemenangan ini adalah kemenangan rakyat, maka saya berupaya semaksimal mungkin berbuat demi kesejahteraan masyarakat," katanya.

*) Penulis buku dan artikel