Bali (ANTARA) - Gencarnya alih fungsi lahan pertanian turut mengancam ketahanan pangan di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah mudahnya pemberian izin peralihan dari lahan pertanian ke non-pertanian.
Menanggapi hal itu, akademisi Universitas Warmadewa Denpasar, Bali Dr. Nengah Muliarta mengatakan alih fungsi lahan pertanian telah membawa konsekuensi negatif bagi upaya penyediaan pangan, terutama di tengah kebutuhan pangan yang terus meningkat.
"Alih fungsi lahan secara otomatis akan mempengaruhi luas lahan tanam dan berdampak pada penurunan produksi. Bila dibiarkan maka bisa meningkatkan ketergantungan kita pada impor pangan. Sehingga dapa berdampak pada keamanan pangan dan kerentanan terhadap fluktuasi harga pangan di pasar global," kata Muliarta kepada media, Kamis.
Penyebab utama dari alih fungsi lahan, berdasarkan penelitian Muliarta lakukan di Bali, antara lain pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang menyebabkan peningkatan permintaan lahan untuk pemukiman, perdagangan, dan industri. Tekanan demografis itu mendorong lahan pertanian diubah menjadi kawasan perkotaan untuk memenuhi kebutuhan hunian dan infrastruktur perkotaan.
"Seiring dengan perkembangan Bali sebagai destinasi pariwisata dan pusat ekonomi, pembangunan infrastruktur menjadi prioritas untuk meningkatkan konektivitas dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengakibatkan konversi lahan pertanian menjadi infrastruktur," kata Muliarta, dosen Pertanian Universitas Warmadewa, Bali.
Untuk mengantisipasi itu, pemerintah sebenarnya sudah menerapkan beberapa strategi guna mengerem laju alih fungsi lahan. Termasuk dengan membuat aturan mengenai perlindungan lahan pertanian berkelanjutan.
"Contohnya penetapan kawasan hijau, ini sudah menjadi upaya sederhana dalam menjaga lahan pertanian khususnya di daerah pinggiran perkotaan. Kemudian terdapat kebijakan sawah abadi, konsep ini jelas tujuannya dalam upaya melindungi lahan pertanian, terutama lahan basah untuk menjaga produktivitas beras," kata Muliarta menjelaskan.
Untuk itu, menurut Muliarta, pemerintah segera mengidentifikasi lahan pertanian yang strategis dan penting untuk produksi pangan lokal. Lahan-lahan tersebut perlu dilindungi dari alih fungsi dan diberikan perlindungan hukum yang kuat.
"Pemerintah perlu meningkatkan pemantauan terhadap alih fungsi lahan yang ilegal atau tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Penegakan hukum yang ketat terhadap pelanggaran alih fungsi lahan penting untuk mencegah konversi lahan pertanian secara ilegal," katanya.
Muliarta juga mengusulkan agar pemerintah turut memberikan insentif bagi warga yang tanahnya masuk dalam kawasan hijau atau sawah abadi, seperti melalui program pelatihan, pembiayaan, dan pemberian akses ke pasar bagi petani.
"Dukungan ini akan mendorong pertumbuhan sektor pertanian dan mengurangi tekanan untuk alih fungsi lahan," katanya.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), mengungkapkan bahwa alih fungsi lahan merupakan hal yang tidak dapat disepelekan. Pasalnya, penyusutan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dapat mempengaruhi produksi pangan nasional.
"Kalau alih fungsi lahan dibiarkan, besok-besok rakyat kita akan kekurangan pangan. Boleh ada perumahan, hotel, atau industri, tapi tidak boleh merusak lahan pertanian yang ada," ucap SYL.
Perlindungan mengenai lahan pertanian ini tertuang dalam UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dalam beleid ini, pemerintah daerah diamanatkan untuk menetapkan Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) guna menjaga lahan pertanian di daerahnya.
Kementerian Pertanian pun menegaskan tahun ini akan fokus untuk melakukan pengawasan terhadap lahan-lahan yang sudah ditetapkan dalam LP2B. Hal itu dilakukan dengan memperkuat sinergi dan komitmen lintas kementerian/lembaga hingga aparat hukum yakni Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (APH).
Baca juga: Gebyar Perbenihan 2023 gelar kemajuan teknologi pertanian
Baca juga: Wamentan Harvick mendorong Karawang menjaga produktivitas pertanian
"Saya kira UU No.41 Tahun 2009 ini tidak normatif. Ancaman hukumannya cukup besar 5 sampai 8 tahun, terutama bagi pejabat yang ikut bertandatangan di situ. Ini memang harus disosialisasikan bahwa jangan ada pejabat dengan lahan strategis lahan berkelanjutan yang sudah diperdakan, kemudian dialihfungsikan," katanya.