Jakarta (ANTARA) - Puluhan rudal balistik dan ratusan pesawat nirawak (drone) diluncurkan Iran ke Israel. Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) menyatakan bahwa aksi tersebut sebagai balasan atas serangan Israel terhadap Konsulat Iran di Damaskus pada 1 April 2024.
Pernyataan tersebut kembali ditegaskan oleh Duta Besar Republik Islam Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Amir Saeid Iravani bahwa operasi militer negaranya terhadap Israel pada Sabtu (13/4) merupakan upaya untuk membela diri.
Serangan Iran merupakan wujud dari strategi tit for tat, sebuah teori permainan dalam hubungan internasional yang melibatkan aksi balas dendam antarnegara. Hal tersebut sebagaimana yang diyakini oleh pendiri sekaligus Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal.
Bagi Dino, negara mana pun yang konsulat maupun kedutaannya diserang, bahkan hingga menimbulkan korban jiwa, tidak akan diam. Oleh karena itu, serangan balasan yang dilakukan oleh Iran terhadap Israel merupakan aksi yang terprediksi.
Berdasarkan teori permainan tersebut, saat ini posisi Iran dan Israel sudah impas; kedua pihak masing-masing telah menyerang sebanyak satu kali.
Akan tetapi, eks Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat ini meyakini bahwa Israel akan membalas serangan tersebut. Presiden Israel Isaac Herzog pun telah menyatakan bahwa Israel akan mempertimbangkan semua dampak yang berpotensi terjadi apabila merespons serangan Iran.
Sebuah kabar buruk bagi dunia, sebab eskalasi konflik berpotensi memicu harga minyak yang mencekik.
Terlebih, stabilitas di kawasan Timur Tengah menjadi patokan harga minyak mentah dunia.
Dampak perekonomian
Berdasarkan data US Energy Information Administration, pada 2023, 5 dari 10 negara produsen minyak terbesar di dunia berasal dari kawasan Timur Tengah, yakni Arab Saudi dengan porsi terhadap total produksi di dunia sebesar 11 persen, Irak (4 persen), Uni Emirat Arab (4 persen), Iran (4 persen), dan Kuwait (3 persen).
Oleh karena itu, kekhawatiran akan buruknya dampak ekonomi ketegangan Timur Tengah kembali menghantui, terlebih di kalangan masyarakat Indonesia.
Ekonom sekaligus Menteri Riset dan Teknologi RI periode 2019–2021 Bambang Brodjonegoro menilai eskalasi konflik antara Iran dan Israel dapat menimbulkan potensi peningkatan inflasi Indonesia.
Kekhawatiran akan peningkatan inflasi ini utamanya disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nantinya.
Selain Bambang, ekonom Mari Elka Pangestu menyoroti kemungkinan terjadinya defisit anggaran dan fiskal, mengingat subsidi BBM yang akan meningkat untuk menyesuaikan dengan meroketnya harga minyak dunia.
Oleh karena itu, Mari mengingatkan Pemerintah, baik pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo maupun presiden yang baru, agar memperhatikan dengan saksama dampak dari konflik bilateral tersebut.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengakui harga minyak dapat mencapai 100 dolar AS per barel akibat eskalasi konflik di Timur Tengah antara Iran dengan Israel.
Tutuka menjelaskan bahwa setiap kenaikan ICP (Indonesian Crude Oil Price) atau harga patokan minyak mentah Indonesia sebesar 1 dolar AS per barel, bisa berpengaruh terhadap meningkatnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga Rp1,8 triliun.
Akan tetapi, juga terjadi pembengkakan subsidi dan kompensasi BBM, masing-masing Rp1,8 triliun dan Rp5,3 triliun.
Dengan demikian, ketika ICP menyentuh 100 dolar AS per barel, Tutuka mengungkapkan subsidi dan kompensasi BBM akan mencapai Rp249,86 triliun dari asumsi APBN TA 2024 yang hanya Rp160,91 triliun dengan kurs Rp15.900 per 1 dolar AS.
Persiapan Pemerintah
Menyadari berbagai gejolak yang dapat terjadi akibat konflik antara Israel dan Iran, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak tinggal diam.
Kementerian ESDM sudah melakukan simulasi-simulasi dampak eskalasi konflik di Timur Tengah terhadap harga minyak, berikut mencakup berbagai parameter seperti kurs, ICP, dan faktor-faktor lainnya.
Adapun hasil dari berbagai simulasi tersebut akan mereka sampaikan kepada pihak-pihak terkait sehingga dapat membuat kebijakan berlandaskan informasi yang diberikan.
Lebih lanjut, Tutuka juga meyakini bahwa negara-negara anggota OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi) akan turut berusaha mencegah memburuknya konflik antara Iran dengan Israel.
Berdasarkan kecenderungan dunia, banyak pihak yang tidak menginginkan harga minyak yang terlalu tinggi, ujar Tutuka kala menyampaikan pandangannya.
Berbekal keyakinan tersebut, Tutuka optimistis negara-negara anggota OPEC akan bahu-membahu menjaga stabilitas harga minyak dunia.
Yang patut menjadi sorotan adalah Iran yang merupakan salah satu negara anggota OPEC sekaligus pihak yang terlibat secara langsung dalam eskalasi ketegangan di kawasan Timur Tengah.
Dalam kesempatan tersebut, Tutuka mengatakan bahwa ICP akan lebih dipengaruhi oleh sikap Arab Saudi terkait konflik tersebut, karena Indonesia mengimpor minyak mentah dari Arab Saudi. Meskipun Indonesia dengan Iran sudah menjalin kerja sama, Tutuka mengatakan bahwa Indonesia tidak mengimpor minyak dari Iran.
Saat ini, kata Tutuka melanjutkan, Pemerintah masih menunggu respons dari Israel terkait serangan Iran. Respons Israel nantinya akan menentukan apakah harga minyak dunia akan meningkat secara berkelanjutan atau spike.
Adapun yang dimaksud dengan spike adalah peningkatan sementara sebelum kembali turun.
Imbas negara-negara Timur Tengah yang tengah bergulat memperjuangkan harga diri masing-masing sebagai negara berdaulat, adalah timbulnya rasa cemas, sebab harga minyak yang kian melonjak.
Pemerintah kembali meyakinkan bahwasanya harga BBM tidak akan berubah hingga Juni, sebagaimana komitmen yang telah disampaikan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif ketika nilai rupiah terhadap dolar melemah.
Pertamina pun telah menyatakan komitmen untuk menjaga stabilitas harga serta pasokan BBM di dalam negeri, sekali pun biaya produksi mengalami peningkatan seiring naiknya harga minyak mentah dunia.
Berbagai komitmen tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat Indonesia dari penambahan beban ekonomi.