Jakarta (ANTARA) - Ahli Teknik Geometri Jalan Universitas Gadjah Mada (UGM) Imam Muthohar menyebutkan ada 53 titik landaian di 17 kilometer (km) Jalan Tol Layang Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) Jakarta-Cikampek (Japek) II, tepatnya dari KM 9+500 hingga KM 28+500.
"Artinya kalau 17 km ini dibagi 53 kelandaian, setiap 300 meter (m) itu ada landaian. Ini yang tidak lazim," kata Imam dalam sidang pemeriksaan ahli dugaan kasus korupsi pembangunan Jalan Tol Layang MBZ di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
Dia mengungkapkan landaian tersebut berupa landaian cembung maupun landaian cekung, sehingga bisa berbentuk tanjakan atau turunan. Imam menilai sebenarnya desain Jalan Tol Layang MBZ sudah cukup baik, namun sebaiknya desain jalan tol layang berbentuk lurus dan datar. Dengan demikian, seharusnya tidak banyak landaian di jalan tersebut.
Adanya desain jalan tol layang yang lurus dan datar, lanjut dia, akan mengurangi hentakan maupun ayunan yang dirasakan kendaraan saat melintas. Dirinya pun membandingkan Jalan Tol Layang MBZ dengan desain Jalan Tol Akses Tanjung Priok serta jalur kereta cepat Jakarta-Bandung, yang menurutnya benar karena memiliki desain yang datar dan lurus.
"Kalau toh perlu ada landaian, itu seharusnya landaian yang terkontrol," tuturnya.
Imam merupakan salah satu ahli yang diminta keterangannya dalam persidangan dugaan kasus korupsi pembangunan Jalan Tol MBZ Japek II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat dengan terdakwa Direktur Utama PT Jasamarga Jalan layang Cikampek (JJC) periode 2016-2020 Djoko Dwijono, Ketua Panitia Lelang JJC Yudhi Mahyudin, Direktur Operasional II PT Bukaka Teknik Utama Tbk. (BUKK) Sofia Balfas, serta tenaga ahli jembatan PT LAPI Ganesatama Consulting Toni Budianto Sihite.
Baca juga: Mengurai benang kusut kecelakaan bus di Jabar
Baca juga: Pemerintah resmi terapkan "one way" di Tol Trans Jawa
Sebelumnya, Djoko Dwijono didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp510 miliar dalam kasus korupsi tersebut, yang dilakukan bersama-sama dengan Sofiah Balfas, Tony Budianto Sihite, dan Yudhi Mahyudin.
Keempatnya didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.