Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta mengemukakan bahwa konsumsi rumah tangga di Jakarta yang tumbuh 5,28 persen sepanjang triwulan II 2024 menandakan daya beli masyarakat masih terjaga.
Hal tersebut, Kepala BPS Provinsi DKI Jakarta Nurul Hasanudin dalam rilis pertumbuhan ekonomi di Jakarta, Senin, menyusul kondisi Jakarta yang tercatat mengalami deflasi pada Juli 2024 sebesar 0,06 persen secara bulanan (month to month).
"Ini biasanya suka ditanyakan, ketika deflasi apakah daya beli kita sedang tertekan? Jadi, indikator bahwa daya beli kita sedang tertekan atau tidak itu ada pada indikator konsumsi rumah tangga," katanya.
Jadi, kata dia, kalau konsumsi rumah tangganya sampai terkontraksi itu berarti ada tekanan daya beli.
Namun, sebaliknya, konsumsi rumah tangga Jakarta tercatat mencapai 5,28 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat nasional yang mencapai 4,9 persen.
"Ini berarti informasi positif untuk kita karena konsumsi rumah tangga 5,28 persen ini berarti memang daya beli masyarakat Jakarta masih baik-baik saja dan masih terjaga," kata Nurul.
BPS mencatat ekonomi Jakarta pada triwulan II 2024 tumbuh sebesar 4,90 persen secara tahunan (year on year/yoy), meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar 4,78 persen yoy.
Pertumbuhan ekonomi Jakarta pada periode ini ditopang oleh jasa keuangan dan jasa perantara keuangan yang tercermin dari meningkatnya penyaluran kredit dan dana pihak ketiga (DPK). Sementara itu, dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga (RT) meningkat. Begitu pula dari sisi investasi dan kinerja ekspor yang membaik.
Konsumsi rumah tangga Jakarta tumbuh sebesar 5,28 persen (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,25 persen (yoy) lantaran tingginya aktivitas saat Hari Besar Keagamaan Negara (HBKN) Idul Fitri, Idul Adha dan periode liburan.
Di sisi lain, konsumsi pemerintah terkontraksi sebesar 5,62 persen (yoy), setelah tumbuh tinggi pada triwulan sebelumnya sebesar 30,30 persen (yoy). Konsumsi pemerintah yang mengalami kontraksi menjadi penahan pertumbuhan.
Kontraksi pada konsumsi pemerintah terutama disebabkan oleh menurunnya belanja pegawai sejalan dengan penyaluran tunjangan hari raya (THR) yang lebih awal serta menurunnya belanja bantuan sosial (bansos).