Gunung Samalas versi lontar dan cerita warga

id Gunung Samaras,Letusan Gunung,Gunung Rinjani

Gunung Samalas versi lontar dan cerita warga

Gunung Rinjani (1) (1/)

Mataram (ANTARA) - Sekelompok warga yang berada di kaki Gunung Samalas berjalan kaki dengan penuh kepanikan. Meninggalkan tanah leluhurnya menuju ke hilir.

Ditinggalkan hartanya menuju tempat yang aman dengan menembus hutan Pilin yang pekat dan tidak dirasakan lagi sakit dan letih, demi menghindari amuk sang gunung itu yang selama ini telah memberikan keberkahan dengan tanah yang subur.

Gambaran itu merupakan kemungkinan suasana penduduk saat menghindari letusan Gunung Samalas yang saat itu bagian dari kompleks Gunung Rinjani, Nusa Tenggara. Tepatnya pada 1257 gunung itu meletus hingga mengubah iklim global seluruh dunia serta berdampak pada kelaparan dan kematian sampai di Benua Eropa selama 2 tahun.

Hal itu dikaitkan dengan penemuan tulang-belulang di makam massal London, yang diyakini para arkeolog terjadi 1258 .

"Eksodusnya ke arah timur, hutan Pilin terus bergerak ke Sambalia, Labuan Lombok sampai Selaparang, serta tersebar ke tempat lainnya," kata Mertawi, Ketua Lembaga Adat Sembalun Lawang yang juga Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Timur.

Ia menyebutkan dirinya mengetahui peristiwa letusan Gunung Samalas itu dari cerita turun temurun dari leluhurnya dan dianggap sebagai Sembalun periode I yang hancur terkena letusan itu.

Peristiwa letusan itu oleh dirinya dikorelasikan dengan temuan tim Badan Geologi Internasional yang dipimpin oleh Frank Lavigne dari Université Panthéon-Sorbonne bersama sejumlah ahli gunung api dari Indonesia.

Pada akhir 2013, tim ekspedisi yang dipimpin Frank Lavigne itu datang ke Lombok termasuk mendatangi Gunung Rinjani, kemudian mengambil sampel. "Kebetulan anak saya ikut membantu ambil sampel, kebetulan dia juga geologis," katanya.

Dari hasil sampel yang diambil di laboratorium, ternyata ditemukan kecocokan angka tahunnya usia abu karbonnya yang ditemukan di Kutub Utara dan Selatan, kemudian dia menyimpulkan Gunung Samaras itu meletus pada 1257.      

"Logikanya memang tahun itu, sebab di kita (masyarakat Sembalun) tidak memiliki data seperti itu. Kita mencoba mengkorelasikan," katanya.

Dari periode I itu, penduduk Sembalun mengungsi selama ratusan tahun tersebar di Lombok, hingga akhirnya kembali lagi mendatangi tanah leluhurnya hingga berdirilah perkampungan Sembalun Lawang yang dianggap periode II.

Sebenarnya letusan Gunung Samaras itu diceritakan pula dalam Babad Lombok yang ditulis di atas lontar, yang diterjemahkan menyebutkan bahwa  Gunung Rinjani Longsor, dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa Pamatan, rumah-rumah rubuh dan hanyut terbawa lumpur, terapung-apung di lautan, penduduknya banyak yang mati. 

Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi, terdampar di Leneng (lenek), diseret oleh batu gunung yang hanyut, manusia berlari semua, sebahagian lagi naik ke bukit. Bersembunyi di Jeringo.

Semua mengungsi sisa kerabat raja, berkumpul mereka di situ, ada yang mengungsi ke Samulia, Borok, Bandar, Pepumba, dan Pasalun, Serowok, Piling, dan Ranggi, Sembalun, Pajang, dan Sapit. Di Nangan dan Palemoran, batu besar dan gelundungan tanah, duri, dan batu menyan, batu apung dan pasir, batu sedimen granit, dan batu cangku, jatuh di tengah daratan, mereka mengungsi ke Brang batun. 

Ada ke Pundung, Buak, Bakang, Tana’ Bea, Lembuak, Bebidas, sebagian ada mengungsi, ke bumi Kembang, Kekrang, Pengadangan dan Puka hate-hate lungguh, sebagian ada yang sampai, datang ke Langko, Pejanggik. Semua mengungsi dengan ratunya, berlindung mereka di situ, di Lombok tempatnya diam, genap tujuh hari gempa itu, lalu membangun desa, di tempatnya masing-masing.

Dari Babad Lombok itu, dapat menggambarkan bagaimana hebatnya letusan Gunung Rinjani tersebut sehingga banyak menimbulkan korban. Jika mengacu pada tahun 1257 terjadi letusannya, maka semasa tiga tahun setelah Raja Singasari Wisnuwardhana mengangkat anaknya menjadi raja yang baru, Kertanegara.
            
 Sembalun Periode II
     
Setelah ratusan tahun mengungsi karena  trauma dengan letusan Samalas, ada inisiatif dari beberapa orang yang mengajak kembali lagi ke Sembalun. Mencari leluhurnya. 
    
Tetapi banyak dari mereka yang tidak ada mau alias tidak ada yang sanggup. Setelah runding punya runding akhirnya ada tujuh kepala keluarga yang sepakat untuk kembali. 

Mereka kembali dari bukit hingga ke Gunung Nanggi.  Dalam perjalanan itu kemudian, pada saat itu air kali sangat deras, Kali Sembalun yang kemudian berganti menjadi Kali Sembalun. 

Ketujuh kepala keluarga itu tidak bisa menyeberang dan menyusuri kali itu. akhirnya di sebelah utara jatuh di Bukit Selong. Walhasil mereka tetap tidak bisa menyeberang sehingga kemudian turun di Desa Adat Beleq. Di tempat itulah, mereka beristirahat di rumah adat. "Kemudian mulai merasa nyaman di situlah dibuat," katanya.

Seiring perjalanan waktu, mereka pun beranak pinak tetapi setiap ada keinginan membangun rumah yang baru selalu ada musibah yang mereka alami, misalnya anaknya meninggal. "Pokoknya tidak bisa berkembang biak, pokoknya bangun pondasi rumah ada musibah," katanya.

Sehingga berkesimpulan di tempat itu tidak boleh ada bangunan tambahan selain bangunan yang sudah ada, yakni, tetap tujuh rumah.  Agar bisa beranak pinak, mereka lokasi yang lebih luas di tempat lain.

Setelah waktu yang disepakati mereka bergerak ke arah barat, lagi-lagi dihadang kali yang sangat deras dan dalam, serta bergerak ke arah selatan, menyusuri kali itu. 

"Sampailah di bawah bukit Majapahit. Di situlah mereka bertemu dengan dua orang asing, namanya Raden Arya Pati dan Raden Arya Mangunjaya.  Mereka yang berdua itu mengaku dari Majapahit. Datu Majapahit atau punggawa majapahit," paparnya.

Tetapi dua orang ini bukan sembarang memiliki kesaktian yang luar biasa, bisa hadir dengan cara gaib. Setelah mereka berdiskusi dengan dua orang itu dengan menjelaskan ingin ke luar dari perkampungan untuk mencari tempat baru. 

Kedua orang itu menawarkan diri, "kalau begitu kita cari sama-sama," kata kedua orang itu. Akhirnya mereka sepakat bergeraklah ke arah selatan mencari kira-kira kali mana yang bisa diseberangi.

"Sampailah pada satu titik yang paling sempit. Lalu kemudian mereka berusaha membuat jembatan sederhana. saling dukung saling pegang sampai mereka menyeberang. Saling membantu diabadikan Loko (Kali) Sangka Bira artinya tempat saling topang dengan sukarela  dengan tulus ikhlas," katanya.
     
Setelah menyeberang kali itu, sekitar jarak 150 meter, kedua orang itu menyampaikan di satu titik bahwa itu tempat yang layak didirikan perkampungan padahal kondisi tanahnya tidak rata banyak bebatuan bekas letusan gunung api.
     
"Enam warga menyatakan setuju tempat itu mengingat atas perintah dua punggawa Mahapahit. Namun satu lagi tidak setuju hingga pergi dan diketahui berada di Sembalun Bumbung," katanya.
     
Akhirnya nama perkampungan baru itu dinamakan Sembalun Lawang yang berasal dari kata Sembah, patuh/tunduk/takzim dan wulun, pemimpin/raja atau orang agung yang dimuliakan, bisa juga yang Maha Kuasa. "Lawang pintu masuk pertama," katanya.

Kendati demikian, ketujuh kepala keluarga itu masih bolak-balik ke rumah lamanya sambil mendirikan rumah di perkampungan yang baru itu. Perkampungan itu sampai sekarang berdiri dan warganya mayoritas berprofesi sebagai petani sayur-sayuran, sampai tahun 1990-an bangunan di perkampungan itu, masih menghadap ke arah utara sama dengan bangunan adat Desa Beleq.

Kini, warga memanfaatkan kesuburan lahan pertaniannya berkat dari letusan Gunung Samalas yang saat ini dikenal dengan nama Gunung Rinjani.