Murid tak akan belajar dari guru yang tak mereka sukai

id murid,guru,Murid tak belajar dari guru tak disukai Oleh Isa Ansori *)

Murid tak akan belajar dari guru yang tak mereka sukai

Kolumnis, akademisi dan Wakil Ketua ICMI Jatim, Isa Ansori (ANTARA/HO-Dok Isa Ansori)

Surabaya (ANTARA) - Seringkali orang tua menghadapi perilaku anaknya yang terasa sangat berat kalau berangkat ke sekolah, namun untuk hal – hal yang bersifat kesenangan yang ada di sekolah, misalkan kegiatan ekstra, anak sangat antusias dan waktunya banyak dihabiskan untuk kegiatan – kegiatan seperti bersama dengan teman – temannya. Mengapa hal itu bisa terjadi ?

Pembelajaran sejatinya adalah sebuah hubungan. Ia bukan sekadar proses transfer ilmu dari guru ke murid, melainkan interaksi yang melibatkan emosi, kepercayaan, dan saling pengertian. Ketika seorang guru dan murid saling memahami, menerima, dan mengerti, maka pembelajaran tidak lagi menjadi beban, melainkan sebuah perjalanan bersama yang menyenangkan. Dalam hubungan seperti ini, guru berperan sebagai fasilitator, pendamping, dan inspirator yang mendukung murid untuk mengeksplorasi potensi terbaik mereka.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua murid memiliki hubungan emosional yang positif dengan gurunya. Ketidaksukaan murid terhadap guru sering kali menjadi hambatan besar dalam proses pembelajaran. Murid yang merasa tidak diterima atau tidak dihargai oleh gurunya cenderung kehilangan motivasi untuk belajar. Sebaliknya, murid yang merasa dipahami dan disayangi oleh gurunya akan menunjukkan semangat belajar yang luar biasa.

Mengapa Murid Tidak Suka pada Guru?

Ketidaksukaan murid terhadap guru sering kali muncul dari pengalaman interaksi yang negatif. Hal ini dapat berupa sikap guru yang otoriter, tidak empatik, atau cenderung menghakimi. Murid yang merasa direndahkan atau diabaikan akan membangun jarak emosional dengan gurunya. Kondisi ini diperparah jika suasana kelas tidak menyenangkan atau cenderung menimbulkan tekanan, alih-alih rasa aman dan nyaman.

Menurut Carl Rogers, tokoh psikologi humanistik, pembelajaran yang efektif hanya bisa terjadi dalam hubungan yang dihiasi dengan empati, penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard), dan keaslian (genuineness). Guru yang mampu menunjukkan ketiga aspek ini cenderung lebih disukai oleh murid karena mereka merasa dihargai sebagai individu yang unik, tanpa merasa dihakimi.

Sekolah Sebagai Taman untuk Tumbuh dan Berkembang

Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara memandang sekolah sebagai taman tempat anak-anak bermain, belajar, dan bertumbuh. Di taman ini, guru adalah "kebun hati" yang bertugas menanamkan nilai-nilai kebaikan, memberikan perhatian, dan menciptakan suasana yang mendukung pertumbuhan anak. Anak-anak yang merasa nyaman di lingkungan sekolah akan lebih terbuka untuk belajar dan mengeksplorasi potensi mereka.

Proses pembelajaran dalam konteks ini bukan sekadar penyampaian materi, tetapi upaya membangun hubungan yang bermakna. Guru harus memahami bahwa setiap anak memiliki kebutuhan, emosi, dan cara belajar yang berbeda. Dengan pendekatan yang inklusif dan humanis, guru mampu menciptakan ruang belajar yang penuh kehangatan dan rasa hormat.

Dampak Hubungan Positif Guru-Murid dalam Pembelajaran

Hubungan positif antara guru dan murid memberikan dampak besar pada proses pembelajaran. Penelitian oleh Hamre dan Pianta (2001) menunjukkan bahwa hubungan emosional yang baik antara guru dan murid tidak hanya meningkatkan keterlibatan belajar tetapi juga mempengaruhi keberhasilan akademik dalam jangka panjang. Murid yang merasa dekat dengan gurunya cenderung lebih percaya diri, memiliki motivasi intrinsik yang tinggi, dan mampu mengatasi tantangan belajar dengan lebih baik.

Sebaliknya, guru yang gagal membangun hubungan emosional yang positif sering kali dianggap sebagai "musuh" oleh murid. Dalam kondisi ini, proses pembelajaran berubah menjadi sekadar formalitas tanpa makna. Murid mungkin hadir secara fisik, tetapi secara emosional dan intelektual, mereka tidak benar-benar terlibat.

Pembelajaran yang bermakna hanya bisa terjadi dalam hubungan yang saling memahami, saling menerima, dan saling mengerti. Guru yang disukai murid adalah guru yang mampu menjalin hubungan tersebut, menghadirkan empati, perhatian, dan kehangatan di setiap interaksi.

Mari kita jadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan, tempat di mana murid merasa dihargai dan diterima. Karena hanya dalam suasana seperti itu, mereka akan belajar dengan sepenuh hati. Sebaliknya, murid tak akan belajar dari guru yang tak mereka sukai. Sebab, inti dari pembelajaran bukan hanya apa yang diajarkan, tetapi bagaimana hubungan itu terjalin.

Tawaran Pak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dengan gagasan belajar yang memanusiakan merupakan upaya menjadikan murid menikmati proses belajar yang terjadi di sekolah, adapun tawarannya adalah dengan belajar yang memahami prosesnya (deep learning) dengan tujuan mendapatkan pengetahuan (mindful learning), mengerti makna belajar dan implementasinya (meaningful learning) serta anak menyenangi dan termotivasi dengan kegiatan belajar yang dilakukan (joyful learning). Wujud dari semua itu adalah terbangunnya hubungan positif dan menyenangkan antara murid dengan guru.

Surabaya, 9 Desember 2024

*) Penulis adalah Kolumnis dan Akademisi, Aktif di Koalisi Pegiat Pendidikan Ramah Anak Indonesia