Isra Mi'raj dan nalar mistik yang terlupakan

id Isra Mikraj,nalar mistik,Istnan Hidayatullah Oleh Istnan Hidayatullah *)

Isra Mi'raj dan nalar mistik yang terlupakan

dosen Universitas Islam Universitas (UIN) Datokarama Palu, Istnan Hidayatullah (ANTARA/HO-Dok Istnan Hidayatullah)

Palu (ANTARA) - Ketika dunia menyambut pergantian tahun 2025, 1 Januari kemarin, umat Islam juga mengawali bulan baru Hijriyah, yakni bulan Rajab. Seturut data historis yang ada, bulan ini merekam beberapa peristiwa penting terkait perjalanan Islam di masa lalu. Di antaranya adalah perang Tabuk atau perang antara umat Islam dan pasukan Romawi (Byzantium). Perang tersebut merupakan perang terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Dalam peperangan tersebut, tidak ada korban jiwa di kedua belah pihak. Sebab, pasukan Byzantium urung hadir ke medan laga.

Peristiwa berikutnya yang terjadi di bulan Rajab adalah Isra Mikraj. Peristiwa ini cukup monumental dan diketahui oleh hampir seluruh umat Islam. Salah satu penyebabnya mungkin karena diterakan dalam surah al-Isra atau surah Banu Israil. Kisahnya pun direpetisi dalam berbagai forum pengajian, khutbah Jum’at, majelis taklim, dan yang lain. Terutama yang dihelat di bulan Rajab.
Peristiwa Isra Mikraj yang diceritakan kembali itu kebanyakan nampak usang.

Karena hampir tidak ada perubahan dalam penyajian. Secara verbatim, alur dan pola dari dulu masih sama saja. Tidak ada keberanian untuk menafsir ulang atau mengkontekstualisasikan kembali. Sehingga tetap relevan dan tidak berjarak dengan pengalaman hidup kekinian. Kalau pun ada yang sedikit berbeda, yakni dengan mencoba mensaintifikasi peristiwa Isra Mikraj, yang ada malah terjebak dalam pemaksaan. Memaksakan peristiwa yang sejatinya irasional menjadi empirik dan rasional. Pemaksaan demikian tak membuat Isra Mikraj menjadi ilmiah dan kontekstual. Alih-alih ilmiah, yang ada malah methodolatry atau salah menerapkan metode tafsir ilmiah itu.

Dimensi Mistik Isra Mikraj

Peristiwa Isra Mikraj merupakan bagian dari fenomena yang bersifat mistik. Kalau diperhatikan dengan seksama, terutama jika ditilik dari lensa munasabah (keterkaitan) antar-bagian dalam al-Qur’an, maka akan didapati fakta bahwa surah al-Isra yang memuat kisah Isra Mikraj itu diapit oleh dua surah yang juga memuat kisah-kisah yang beririsan dengan hal-hal yang berada di luar nalar, yakni surah al-Nahl dan surah al-Kahfi.

Surah al-Nahl menampilkan, antara lain, kisah tentang tentang lebah (QS. 16:68-69). Allah memerintahkan lebah agar membuat sarang di gunung-gunung dan pohon-pohon. Lalu mereka pun diperintah agar mengonsumsi sari buah-buahan (sari bunga). Dari perut lebah kemudian keluar cairan yang beraneka warna. Cairan tersebut mengandung obat untuk manusia. Dimensi irasionalitas dari kisah ini tentu lebahnya sendiri. Bagaimana mungkin makhluk mikro itu bisa menjadi seperti mesin yang mengurai sari bunga menjadi cairan kaya protein. Rasanya sepanjang sejarah kedigdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi belum pernah menciptakan mesin sekecil lebah dengan kemampuan memproduksi carian seperti itu.

Kisah lebah tersebut kemudian dirangkaikan dengan peristiwa Isra Mikraj. Dalam peristiwa tersebut, Nabi Muhammad melakukan perjalanan (rihlah) dari Mekkah ke Masjid al-Aqsha di Yerussalem, lalu naik ke Sidrah al-Muntaha. Dengan moda transportasi masih sederhana di era itu, hampir musykil kisah tersebut diterima oleh akal. Alasannya gap antara alat transportasi, jarak tempuh, dan durasi waktu sulit disinkronkan. Dengan perkembangan teknologi transportasi secanggih sekarang pun, sudah dapat dipastikan bahwa peristiwa semacam itu mustahil dilakukan.
Pada surah berikutnya, yaitu al-Kahfi, lagi-lagi al-Qur’an menyuguhkan kisah yang tak kalah irasionalnya. Kisah tersebut kongruen dengan nama surah, yakni segerombolan anak muda yang mengalami tidur panjang dalam gua (al-kahfi) selama 300 tahun.

Secara ilmiah, kejadian ini tentu tidak logis. Karena tubuh manusia memiliki kebutuhan dasar agar kinerja sistem biologisnya tetap berjalan dengan baik. Kebutuhan dasar yang dimaksud, seperti makan, minum, buang kotoran dan yang lain. Jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi selama sekian hari, maka sudah pasti tubuh manusia akan mengalami disfungsi, lalu mati. Lagi pula, usia tubuh manusia ada batasnya. Rasanya tidak mungkin ada manusia yang bisa bertahan hidup selama tiga abad tanpa makan, minum, buang kotoran dan aneka hal yang lumrah dibutuhkan orang hidup.

Tiga peristiwa yang diartikulasikan dalam surah al-Nahl, al-Isra, dan al-Kahfi tersebut merupakan fenomena mistik. Karena ketiganya ada dalam kitab suci agama Islam, maka dapat disimpulkan bahwa mistik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Seorang muslim wajib menerima dimensi mistik sebagai bagian dari objek yang diimani. Lebih jauh lagi, seorang muslim juga harus memakai mistik sebagai nalar atau paradigma (mode of thought dan mode of inquiry) dalam melihat dan menyikapi kehidupan.

Nalar mistik ini belakangan cenderung dinegasikan dari kehidupan umat Islam. Nalar mistik dianggap dan dipadankan dengan kehidupan yang kolot dan terbelakang. Dalam lingkaran pergaulan sosial, seseorang yang mencoba mempertahankan nalar mistik dianggap primitif dan ditertawakan. Pendek kata, nalar mistik sudah dianggap tidak relevan dengan kehidupan kontemporer yang penuh dengan ingar-bingar kemajuan sains dan teknologi. Mungkin semua itu akibat dari serangan yang bertubi-tubi kalangan positivis terhadap agama. Konsekuensi serangan demi serangan tersebut, bahkan bukan hanya nalar mistik yang dipenetrasi, nalar agama secara keseluruhan pun diresistensi dan dinegasikan.

Padahal, jika diarifi dengan cermat, nalar mistik sesuangguhnya merupakan bagian yang built in dalam kehidupan manusia. Manusia membutuhkan nalar itu bukan semata untuk memecahkan masalah, melainkan juga dalam rangka bertahan hidup (survival). Nalar mistik menyediakan banyak alternative dan ruang untuk menafsiran kehidupan. Kekayaan tafsir tersebut tentu akan membuat manusia memiliki stok alternative yang pada gilirannya akan sangat membantu menghadirkan ketenangan.

Satu contoh, misalnya, jika seseorang mengalami banyak tekanan hidup (sebagaimana dialami oleh Nabi Muhammad sebelum Isra Mikraj), ia akan tetap berdiri tegak dan mampu mengendalikan diri. Sebab dalam pikirannya masih menyimpan harapan akan adanya keajaiban (invisible hand) yang mempu mengeluarkannya dari masalah hidup yang dialami. Bayangkan, jika keyakinan semacam itu lenyap dari pikiran manusia, maka tekanan hidup yang dialami akan dihadapi dengan sikap destruktif, seperti lari ke obat-obatan terlarang, aksi kriminalitas, hingga bunuh diri.

Dari data yang ada, berbagai peristiwa kriminalitas, penyalahgunaan zat adiktif, dan bunuh diri kerap didahului oleh tekanan masalah yang dialami subyek, seperti pinjol, konflik, penyakit akut, kontestasi politik, usaha bangkrut, dan yang lain. Masalah-masalah tersebut diterima sebagai beban hidup yang melampaui kemampuannya. Tidak ada celah bagi dirinya untuk keluar dari masalah yang dihadapi. Alhasil, ia pun terjerumus pada pilihan-pilihan solusi yang ekstrem dan sangat fatal.

Pendidikan Nalar Mistik

Melihat betapa penting nalar mistik tersebut, maka seyogianya perlu dirawat dan diinjeksi dalam pikiran. Nalar mistik harus diberikan ruang sebagaimana nalar-nalar yang lain, yakni nalar rasional dan nalar empiris. Ketiganya sama-sama sangat dibutuhkan bagi manusia untuk mengarungi kehidupan yang dihinggapi berbagai problematika. Sinergi dan integrasi ketiga nalar tersebut akan mengasilkan banyak alternatif penyelesaian masalah (problem solving), ketimbang hanya menggunakan salah satu dari ketiga nalar itu.
Di antara media untuk merawat dan menghidupkan nalar mistik adalah melalui pendidikan. Pendidikan saat ini lebih didominasi oleh nalar positivistik (gabungan antara nalar empiris dan rasional). Dalam pendidikan saat ini hampir dipastikan menolak segala macam yang berbau mistik. Bisa dipastikan bagaimana out put dan out come pendidikan yang didesain seperti itu. Hasilnya pasti semakin menyingkirkan nalar mistik yang terbukti sangat berfaidah dan dibutuhkan manusia.

Apakah nalar mistik perlu dibuatkan mata pelajaran khusus? Jelas tidak. Nalar mistik akan efektif kalau menjadi arus utama pembelajaran. Ia masuk dalam tujuan/capaian pembelajaran dan semua topik yang dipelajari. Seorang guru punya peran untuk “mengawinkan” nalar mistik dengan nalar positivistik dalam setiap kegiatan pembelajaran. Kemampuan guru untuk “mengawinkan” keduanya sangat mungkin jika memiliki wawasan yang luas. Di sini guru dituntut untuk menyerap dan meluaskan bacaannya dari berbagai sumber pengetahuan yang sangat mudah diakses saat ini, termasuk dari pengalaman dan peristiwa yang silih berganti hadir dalam ruang publik dan ruang virtual.

*) Penulis adalah dosen Universitas Islam Universitas (UIN) Datokarama Palu