Jakarta (ANTARA) - Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro mengatakan persaingan likuiditas yang terjadi di industri perbankan akan semakin mengetat dengan berlomba-lomba mendapatkan dana murah dari masyarakat.
“Kalau kita bicara liquidity (likuiditas), last statement (pernyataan terakhir) kami adalah tentu saja persaingannya akan semakin ketat,” kata Andry dalam acara “Economic Outlook 2025” di Jakarta, Selasa.
Andry mengategorikan tiga pola persaingan likuiditas. Pertama, persaingan likuiditas antar-bank yang masuk dalam Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) IV, sejalan dengan pertumbuhan kredit yang relatif kencang pada bank dalam kelompok ini.
Kedua, persaingan likuiditas antara bank KBMI IV versus bank KBMI III atau yang berada di bawahnya. Kemudian yang ketiga yaitu persaingan likuiditas antara perbankan dengan regulator melalui produk Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
“Jadi saya rasa itu tantangannya (persaingan likuiditas di perbankan),” ujar Andry.
Ia menyebutkan, pertumbuhan kredit di perbankan relatif solid dalam beberapa tahun terakhir. Namun di sisi lain, pertumbuhan funding (pembiayaan) melalui penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) masih menjadi tantangan bagi perbankan sebab posisinya berada di bawah pertumbuhan kredit.
Andry juga mencatat bahwa loan to deposit ratio (LDR, rasio simpanan terhadap pinjaman) dalam beberapa periode terakhir mengalami peningkatan. Bahkan berdasarkan simulasi Bank Mandiri, LDR industri akan berada di atas 95 persen dalam tiga tahun ke depan apabila pola pertumbuhan kredit selalu di atas (outpace) pertumbuhan DPK.
Dengan kondisi tersebut, sebenarnya terdapat banyak ruang bagi bank untuk menerbitkan obligasi korporasi. Namun, ia mengingatkan bahwa penerbitan obligasi korporasi juga bergantung pada kondisi pasar modal atau pasar globalnya.
“Kalau memang kemudian market-nya juga seperti saat ini, tentu saja biaya yang dibebankan itu akan relatif lebih mahal,” ujar dia.
Berdasarkan data Mandiri Institute, Andry menyebutkan bahwa indeks tabungan pada kelompok masyarakat kelas bawah menunjukkan tren yang terus “tenggelam”. Hal ini, kata dia, sejalan dengan data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Baca juga: Unizar Mataram hadirkan akademisi Malaysia dalam kuliah umum perbankan syariah
“Ini inline (selaras) dengan data di LPS. Rata-rata tabungan di tiering Rp200 juta, saat ini rata-rata saldonya hanya sekitar Rp1,8 juta. Kalau kita lihat lebih detail lagi, rata-rata (tiering) di bawah Rp100 juta, itu rata-rata saldonya hanya sekitar di bawah Rp200 ribu,” kata dia.
Adapun indeks tabungan pada kelompok masyarakat kelas menengah relatif mendatar atau flat, meskipun hal ini akan bergantung dari banyaknya beban untuk konsumsi.
Baca juga: Berikut aturan baru OJK tentang rahasia bank
“Kalau ada beban tambahan pajak, biaya macam-macam dari pemerintah, dan biaya hidup yang lebih meningkat, pasti mereka (kelas menengah) akan mengurangi konsumsinya,” ujar Andry.
Sedangkan pada kelompok masyarakat kelas atas, indeks tabungan mengindikasikan adanya pengalihan penempatan aset, bukan hanya dalam bentuk simpanan tetapi juga dalam portofolio investasi seperti emas yang belakangan harganya semakin meningkat.
“Dengan kondisi saving (tabungan) yang juga relatively limited (relatif terbatas), PR kita yang paling besar kemudian adalah bagaimana mengelola liquidity (likuiditas) di banking sector (sektor perbankan),” kata Andry.