Apa arti Hari Bulu Tangkis Sedunia?

id Badminton,Bulu Tangkis,PBSI,Taufik Hidayat,Hari Bulu Tangkis Sedunia Oleh Muhammad Ramdan

Apa arti Hari Bulu Tangkis Sedunia?

Tontowi Ahmad saat hadir dalam Liga Anak Indonesia 2025 di Lapangan PSF Pancoran, Jakarta, Jumat (4/7/2025). (ANTARA/Muhammad Ramdan)

Jakarta (ANTARA) - Hari Bulu Tangkis Sedunia kembali dirayakan pada 5 Juli. Di banyak negara, perayaan ini menjadi momentum untuk merayakan warisan kejayaan, semangat sportivitas, dan pencapaian-pencapaian membanggakan.

Tapi di Indonesia, negara yang selama puluhan tahun menjadi poros kekuatan olahraga tepok bulu itu, hari ini justru menggugah kesadaran kolektif akan sesuatu yang mulai retak pada prestasi, motivasi, dan arah pembinaan olahraga ini.

Alih-alih dipenuhi kabar kemenangan, perayaan kali ini diwarnai keprihatinan.

Hingga pertengahan tahun 2025, belum satu pun gelar dari turnamen BWF World Tour level Super 500 ke atas diraih wakil Merah Putih.

Catatan terbaik hanya datang dari turnamen Super 300 seperti Thailand Masters dan Taiwan Open 2025.

Sebuah sinyal krisis yang tak lagi bisa dianggap sebagai “fase wajar”.

Unggahan harapan dari akun media sosial PBSI yang berbunyi “Mari terus jadikan bulu tangkis sebagai olahraga yang penuh prestasi untuk kebanggaan dan kegembiraan bangsa” menjadi bumerang.

Kolom komentarnya dipenuhi suara publik yang kecewa, marah, dan tidak lagi percaya pada jargon. Ketika prestasi tak hadir, kata-kata kehilangan maknanya. Namun ada juga yang berkomentar bernada positif. Memberikan dukungan.

Rapuh di titik paling dasar

Memang orang bisa berdalih bahwa regenerasi butuh waktu. Orang bisa menyalahkan transisi atau cedera atlet. Tapi para legenda punya pandangan yang lebih tajam yang menyasar ke inti. Para atlet kehilangan motivasi. Dan ini bukan keluhan baru.

Dalam sebuah wawancara termasuk ANTARA, belum lama ini, Liem Swie King menyebut, secara teknis, atlet-atlet muda hari ini lebih baik dibanding generasinya.

Tapi mereka rapuh. Di usia 14–16 tahun, mereka luar biasa. Tapi begitu menginjak 18, grafik mereka turun drastis.

Mengapa? Karena kehilangan motivasi.

“Jangan merasa cukup jadi juara di Indonesia. Itu bukan apa-apa. Kalau bicara juara harus dunia,” kata King.

Kata-kata ini seperti tamparan. Nyaring. Penuh kekecewaan. Tapi juga kejujuran yang tak bisa dibantah.

Masalah makin dalam ketika sistem pun memelihara mental “aman”. Legenda bulu tangkis Imelda Wigoena secara gamblang menyebut saat ini banyak atlet lebih mengejar peringkat demi sponsor ketimbang fokus untuk menang.

“Kalau ranking 1 sampai 10 diberi nilai sponsor yang sama, atlet jadi berpikir pragmatis. Masuk semifinal saja sudah aman,” kata juara dunia 1980 bersama Christian Hadinata itu.

Ini bukan sekadar fenomena mental juara yang hilang, tapi sistem insentif yang keliru. Ketika peringkat menjadi tujuan, kemenangan menjadi sekadar bonus. Ini jelas berbahaya.

Evaluasi

PBSI bukan tanpa usaha. Wakil Ketua Umum PP PBSI Taufik Hidayat menyampaikan dengan cukup lugas bahwa federasi telah mengultimatum pelatih dan sedang menyiapkan promosi-degradasi di pelatnas.

Namun, hingga hari ini, perubahan belum nyata terlihat. Mungkin masih menunggu karena Taufik baru beberapa hari yang lalu mengatakan hal itu. Tapi kenapa baru sekarang?

Sebelumnya, turnamen demi turnamen dilalui tanpa podium. Evaluasi kini dilakukan. Padahal, seperti disebut Taufik, tidak ada juara dua. Hanya ada satu juara. Itu pun belum kita punya. Konteksnya pada musim 2025 ya.

Pertanyaan publik makin sederhana: Apakah PBSI terlalu sabar atau justru terlalu permisif?

Kalau motivasi hilang, mundur saja

Opini menarik juga datang dari Tontowi Ahmad. Juara dunia 2013 dan 2017, serta peraih emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016 bersama Liliyana Natsir ini menekankan pentingnya motivasi personal.

Target harus jelas, katanya, tapi semangat mengejarnya harus konsisten.

“Kalau latihannya malas, target tinggal angan-angan.”

Tontowi bahkan memilih pensiun ketika merasa motivasinya sudah tidak lagi menyala. Bagi dia, profesionalisme bukan soal kontrak atau gaji, tapi semangat.

“Kalau sudah tidak punya motivasi, ya berhenti saja. Jangan karena masih ada kontrak lalu latihannya tidak niat, tapi uangnya tetap mau diambil. Itu bukan sikap profesional,” kata Tontowi.

Ia juga menyebut kerasnya persaingan global saat ini. Negara-negara lain bergerak cepat, sementara di sini kerap merasa nyaman di zona lokal.

Refleksi

Perayaan Hari Bulu Tangkis Sedunia tahun ini seharusnya menjadi pengingat bahwa kejayaan tidak datang dari tradisi semata. Medali tidak diwariskan. Ia diperebutkan. Untuk memperebutkannya, atlet butuh semangat, pelatih butuh kejujuran, sistem butuh keberanian berubah.

Jika prestasi tidak juga datang, maka bukan hanya atlet yang patut disalahkan. Klub, pelatnas, federasi, bahkan sistem olahraga nasional harus mau bercermin. Tidak adil menuntut atlet berlari cepat jika lintasannya penuh jebakan birokrasi dan ilusi ranking.

Baca juga: Tiga wakil Indonesia absen dari Japan Open

Bulu tangkis negeri ini butuh paradigma baru. Pembinaan yang menjangkau hingga ke akar. Pelatih yang berani melatih dengan hati dan visi. Atlet yang lapar akan kemenangan, bukan semata ranking dan popularitas.

Dan tentu, pemerintah yang melihat olahraga bukan hanya sebagai pencitraan saat Olimpiade, tetapi sebagai investasi jangka panjang.

Baca juga: Bagi Liu Sheng Shu/Tan Ning, Istora Gelora Bung Karno adalah keberuntungan

Hari Bulu Tangkis Sedunia kali ini menjadi pengingat bahwa Indonesia masih memiliki warisan besar dalam olahraga ini. Tapi warisan hanya akan jadi cerita jika tak diwariskan dengan semangat yang benar.

Kejayaan bulu tangkis Indonesia jangan hanya hidup dalam cerita. Selamat Hari Bulu Tangkis Sedunia!


Editor: I Komang Suparta
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.