Skandal bansos judol: Bukan sekadar krisis moral, tapi alarm kegagalan sistemik

id Skandal bansos judol,krisis moral,alarm kegagalan sistemik Oleh Amrillah, SE., MM., ME. *)

Skandal bansos judol: Bukan sekadar krisis moral, tapi alarm kegagalan sistemik

Sekretaris Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) NTB, Amrillah, SE., MM., ME. (ANTARA/HO-Dok Amrillah)

Mataram (ANTARA) - Publik kembali dikejutkan oleh temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengungkap fakta mencengangkan: lebih dari setengah juta rekening penerima bantuan sosial (bansos) terindikasi digunakan untuk judi online, dengan perputaran uang mencapai triliunan rupiah. Reaksi publik terbelah antara amarah dan kekecewaan. Namun, menyalahkan sepenuhnya para penerima bantuan atas krisis moral ini adalah sebuah penyederhanaan yang berbahaya, karena sejatinya ini adalah cerminan dari kegagalan desain kebijakan yang telah lama terakumulasi.

Temuan PPATK ini sejatinya bukanlah hal yang mengejutkan bagi kami yang kerap kali menganalisis data kebijakan publik. Sebaliknya, ini adalah manifestasi nyata dan brutal dari sebuah masalah yang selama ini hanya terlihat sebagai anomali statistik dalam model-model ekonometrika kami.

Dalam analisis data panel yang saya lakukan terhadap efektivitas belanja bansos di tingkat daerah (studi kasus NTB), saya menemukan sebuah hasil yang membingungkan: secara statistik, alokasi dana bansos tidak terbukti signifikan dalam menurunkan angka kemiskinan. Selama ini, kami berhipotesis bahwa hasil tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti ketidakcukupan manfaat, kesalahan sasaran, atau kebocoran program. Kini, skandal "bansos judol" ini memberikan wajah yang gamblang pada "kebocoran" tersebut. Ia adalah penjelasan paling logis mengapa triliunan rupiah yang digelontorkan seakan menguap tanpa meninggalkan dampak pengentasan kemiskinan yang berarti.

Uang bansos yang hanyut dalam pusaran judi online adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: desain program bantuan sosial kita yang masih bersifat karitatif dan transaksional, bukan transformatif dan memberdayakan.

Dari Bantuan Menuju Pemberdayaan: Mendesain Ulang Arsitektur Bansos

Skandal ini harus menjadi alarm paling kencang bagi pemerintah untuk melakukan reformasi fundamental terhadap arsitektur perlindungan sosial kita. Membekukan rekening adalah langkah reaktif yang perlu, namun sama sekali tidak cukup. Kita perlu beralih dari sekadar memberi uang tunai menjadi membangun manusia. Ini adalah momen untuk secara serius mengadopsi kebijakan yang telah terbukti berhasil di panggung global.

Pertama, adopsi "penargetan presisi" dan pendampingan intensif. Belajar dari model pengentasan kemiskinan di Tiongkok, kita harus bergerak menuju sistem di mana setiap keluarga miskin memiliki "profil kemiskinan digital". Profil ini tidak hanya berisi data pendapatan, tetapi juga diagnosis multidimensional atas akar masalah mereka: Apakah karena sakit? Kurang keterampilan? Akses pasar yang buruk? Berdasarkan diagnosis ini, intervensi yang diberikan bersifat personal dan solutif, bukan sekadar uang tunai yang seragam. Ini menuntut peran pendamping sosial (seperti pendamping PKH) diperkuat, bukan sebagai administrator, tetapi sebagai manajer kasus yang bertanggung jawab atas kemajuan keluarga dampingannya.

Kedua, konvergensi program dan "Bansos Plus". Untuk meminimalisir penyalahgunaan uang tunai, konvergensi program adalah sebuah keharusan. Bantuan harus lebih banyak diberikan dalam bentuk komplementer yang langsung menyentuh kebutuhan dasar. Misalnya, bantuan tunai dikurangi porsinya, namun diimbangi dengan jaminan akses terhadap program perbaikan gizi di Posyandu, beasiswa pendidikan yang terverifikasi, akses pupuk bersubsidi, atau bahkan pelatihan vokasi bersertifikat. Sulit untuk mempertaruhkan gizi anak atau masa depan pendidikannya di meja judi online.

Ketiga, integrasi literasi keuangan sebagai syarat mutlak. Memberi uang kepada masyarakat yang rentan secara ekonomi tanpa membekali mereka dengan pengetahuan mengelola keuangan adalah sebuah kelalaian. Setiap program bansos wajib menyertakan modul edukasi dan literasi keuangan yang praktis. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi sebuah investasi untuk membangun resiliensi dan mengubah pola pikir dari konsumsi jangka pendek ke perencanaan jangka panjang.

Temuan PPATK ini sejatinya adalah sebuah peluang emas yang menyakitkan. Sebuah kesempatan untuk berhenti menambal sulam sistem yang bocor dan mulai membangun fondasi baru. Jika tidak, dana bansos akan terus menjadi bahan bakar bagi industri judi online, sementara angka kemiskinan tetap menjadi statistik yang stagnan. Krisis ini bukanlah akhir dari cerita bantuan sosial, tetapi harus menjadi awal dari era baru perlindungan sosial yang cerdas, akuntabel, dan benar-benar memberdayakan.

*) Penulis adalah Sekretaris Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) NTB



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.