Senjata orang-orang kalah dan bahasa diam perlawanan

id Senjata orang-orang kalah ,bahasa ,diam perlawanan Oleh Dr. Alfisahrin, M. Si *)

Senjata orang-orang kalah dan bahasa diam perlawanan

Staf ahli di DPD RI, Dosen UNBIM dan Fisip Upatma Mataram Dr. Alfisahrin, M. Si (ANTARA/HO)

Mataram (ANTARA) - Pragmatisme Pemilu, Gagal hasilkan Pemimpin berintegritas

Dalam dunia politik modern, wacana tentang kekuasaan dan perlawanan rakyat kecil terus menjadi topik hangat yang kontekstual. Rakyat yang kecewa dengan negara, pemerintah dan elite politik biasanya menggunakan berbagai strategi tersembunyi seperti menggosipkan tentang buruknya praktek kekuasaan, menciptakan satire, sarkasme dan kata-kata demagogi sekedar untuk melawan dominasi elite dan rezim korup yang menindas. Namun, meski begitu, senjata perlawanan mereka kerapkali kalah dalam medan politik yang lebih luas. Secara politis, ini mencerminkan adanya ketimpangan kekuasaan yang mendalam antara rakyat dan institusi negara atau elite ekonomi politik. Senjata rakyat kecil baik itu dalam bentuk berpura-pura patuh, memperlambat kerja, mencuri kecil-kecilan, protes kecil, sabotase halus, sebagai bentuk resistensi atau perlawanan sehari-hari terhadap ketimpangan kekuasaan tanpa harus melakukan pemberontakan besar-besaran. Akan tetapi seringkali bentuk-bentuk sederhana perlawanan rakyat kecil dan pegawai-pegawai kecil di birokrasi negara, universitas dan sekolah-sekolah dianggap tidak cukup kuat untuk menghadapi sistem politik negara dan birokrasi yang sudah mapan dan terorganisir dengan baik (Scott,1985).

Kekalahan rakyat kecil dalam melawan hegemoni negara dan penguasa bukan semata soal kemampuan dan keinginan rakyat, tetapi lebih pada bagaimana sistem politik dan kekuasaan dirancang untuk mempertahankan status quo. Bukan perkara rahasia bahwa dalam banyak negara demokrasi sekalipun, kebijakan yang lahir seringkali hanya menguntungkan sekelompok elite dengan akses ekonomi politik yang lebih besar, sementara suara rakyat kecil menurut saya, terdilusi dalam tembok kokoh bangunan kekuasaan dan tidak mampu menembus lapisan birokrasi politik dan oligarki. Hal ini menunjukan perlunya reformasi struktural yang tidak hanya fokus pada simbol-simbol demokrasi melainkan ikut membangun kesadaran kritis publik untuk mengembalikan arah dan pengkhidmatan kekuasaan pada kepentingan publik bukan elite.

Rakyat kecil sudah terlalu lama hanya menjadi komoditas politik aktor politik dan objek pemilu, namun nasibnya tidak pernah kunjung berubah. Setiap musim pemilu tiba, baik pilpres, pileg dan pilkada seringkali disambut meriah oleh jutaan petani, buruh, nelayan, guru-guru honor dan sukarela. Bagi rakyat kecil pemilu artinya tiket yang memberi harapan akan adanya perubahan politik baru yang lebih baik terhadap nasib dan arah masa depan negara. Rakyat kecil tidak menginginkan yang muluk-muluk selain harga bahan pokok murah, pekerjaan mudah diakses, biaya sekolah terjangkau, tarif listrik tidak naik, pupuk murah dan harga jual komoditas pertanian naik. Karenanya pemilu tidak boleh hanya menjadi sekedar ritus demokrasi lima tahunan tetapi esensi pemilu harus diperas menjadi proses sirkulasi elite yang menghasilkan pemimpin negara dan daerah yang berkualitas.

Namun, faktanya pemilu, kini hanya menjadi pesta elite oligarki, elite ekonomi dan korporasi bukan lagi tentang rancang bangun strategi agar hasil pemilu menciptakan pemimpin negara dan daerah yang transformatif, solutif dan inovatif. Selusin persoalan fundamental yang mendera bangsa seperti gurita kemiskinan, IPM rendah, infrastruktur buruk, sekolah ambruk, korupsi, stunting,dan indeks demokrasi yang menurun konsisten ke 0, 27 poin. salah satunya faktor ini terjadi karena maraknya politik dinasti, praktek oligarkis, pelemahan institusi demokratis dan pembatasan ekspresi rakyat kecil (publik). Pemilu di Indonesia bukan lagi dimaknai sebagai peristiwa sakral dan keajaiban yang diberikan oleh konstitusi tetapi telah berubah menjadi panggung atraksi kapitalisme.

Aktor-aktor politik tidak perlu repot ikut jalan panjang menjadi kader partai, asal punya banyak uang pasti bisa dapat akses tiket mudah untuk diusung oleh banyak partai di pileg dan pilkada. Sehingga ajang pilkada dan pileg menjadi lahan paling subur bagi praktek jual beli suara, bayar membayar penyelenggara dan bagi-bagi uang serangan fajar. Harusnya praktek curang dan culas pemilu yang repetitif ini, harus sesegera mungkin dapat diakhiri dengan penegakan tegas aturan pemilu bukan sebaliknya aktor dan penyelenggara justru saling kompromi dibawah meja. pemilu bukan sekedar soal sirkulasi elite melainkan pentas bagi pemimpin yang terpilih setelah pemilu, untuk bekerja konkrit bukan semata retorika.

Problem akut bangsa masih dihadapkan pada 23,85 juta rakyat miskin (BPS, Maret 2025), indeks korupsi yang masih skor 37 dari 100 negara, dan 7,28 juta orang menganggur tidak punya pekerjaan. Buat apa ada azas pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER) jika kecurangan pemilu terjadi masif, politik uang kokoh mentradisi dan integritas penyelenggara tidak ada . Akhirnya pemilu sekedar menjadi kewajiban formalitas konstitusi bukan lagi menghadirkan esensi demokrasi yakni mewujudkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, dan pelayanan publik berkualitas. Mirisnya hasil pemilu pun hanya mampu menghasilkan pemimpin yang biasa-biasa saja (ordinary person) bukan pemimpin luar biasa dengan integritas ilmu dan prestasi (extraordinary person).

Situasi buruk pemilu ini terjadi sebagian dipengaruhi oleh kegagalan sistem kepemimpinan nasional maupun kepemimpinan lokal dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Selama masih ada kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan maka, pragmatisme politik akan tetap bercokol menjadi parasit dalam setiap perhelatan pemilu. Sehingga tidak heran jika banyak orang apatis, golput, dan absen dalam setiap perhelatan pemilu karena faktanya pemilu tidak dapat mengubah apa-apa bagi rakyat kecil. Urusan politik menjadi sekedar perkara bayar membayar dan jual beli suara. Siapa sanggup bayar akan menang dan siapa tak sanggup bayar akan tersingkir dari arena kompetisi. Pemilu akhirnya menjadi permainan recehan bukan lagi menyiapkan cara bermartabat yang menghadirkan pemimpin berintegritas. Padahal, biaya pemilu serentak tahun 2024 menelan 71,3 triliun anggaran negara harusnya masyarakat Indonesia layak mendapatkan pemimpin berkualitas bukan abal-abal.

Lalu siapa yang dirugikan dari praktek kapitalisme, hegemoni dan intrik politik yang berlangsung dalam proses pemilu. Hemat saya, elite dan partai politiklah yang paling banyak menangguk untung karena ada trend partai lebih suka mengusung kader yang berduit dibandingkan dengan yang berilmu dan punya gagasan intelektualitas. Rakyat kecil seperti petani, peternak, nelayan, dan buruh lagi-lagi harus tersingkir, terpojok dan tidak tidak berdaya melawan permainan politik elite. Orang-orang kecil yang miskin menerima kekalahan demi kekalahan tidak saja dalam proses pemilu tetapi juga dalam praktek kebijakan inti politik negara. Di tengah gencarnya narasi swasembada dan surplus pangan oleh pemerintah Prabowo-Gibran contohnya, aneh saja tiba-tiba ada kebijakan impor beras dari Thailand, Vietnam dan Pakistan bahkan dalam catatan BPS mencapai 95. 943 ton di periode januari -Februari 2025. Langkah ini selain tidak populis juga tidak bijak, betapa tidak, aksi impor ini lagi-lagi hanya untungkan penguasa dan penguasaha sementara jutaan petani lokal menjerit merugi menagguk hutang. Kita lupa bahwa di balik panggung megah dan mimbar mewah kampanye politik selama ini, ada jutaan kelompok petani, kelompok nelayan, kelompok buruh, dan kelompok pemulung yang hidupnya miskin dan susah namun, memilih diam dan masa bodoh, menyaksikan kezaliman kekuasaan. Dalam terminologi politik mayoritas yang diam ini disebut sebagai silent majority.

Minimnya akses terhadap sumber daya tanah, modal ekonomi dan akses pada kekuasaan. Seringkali membuat petani, nelayan dan buruh kecewa kepada pemerintah. Akibatnya mereka lebih banyak memilih diam karena bosan bicara, tidak -mengeluh karena capek mengadu, apalagi protes terhadap timpang dan tidak adilnya kekuasaan yang dijalankan negara. Orang-orang kecil ini lantas mengembangkan apa yang disebut dengan ‘senjata orang-orang kalah’ dalam terminologi ilmuan politik dan antropolog Amerika James Scott (1936). Senjata bagi orang-orang kalah yakni rakyat kecil seperti petani, nelayan, dan buruh dalam konteks ini merupakan simbolisme yang tidak merujuk kepada senjata fisik tetapi juga pada kata-kata, ide, dan tindakan kecil yang memiliki dampak besar.

Perlawanan Senyap dan sikap Skeptis terhadap Elite Politik

Di dunia yang dijejali oleh dominasi, hegemoni dan adu kuat otoritas kekuasaan negara yang kebablasan seringkali hanya menciptakan relasi kuasa yang timpang dan tidak adil terhadap masyarakat kecil. Saya melihat ada semacam sekat dan tembok raksasa yang menjadi penghalang antara rakyat kecil dan negara. identitas yang semakin kokoh antara elite politik, pemerintah, pemilik modal dan rakyat kecil. Sehingga kritik dan aspirasi orang-orang kecil seringkali hanya sayup-sayup terdengar, jarang menjadi trending politik, ironisnya malah aspirasi mereka umumnya hanya disisihkan dan malah sering tercecer dalam agenda-agenda rapat tidak pernah serius menjadi keputusan politik resmi pemerintah. Rakyat kecil semakin tidak berdaya dengan arogansi kekuasaan negara dan korporasi bahkan kini, dominasi dan hegemoni model-model kekuasaan mirip negara ikut pula menjalar ke dalam praktek-praktek inti penyelenggaraan akademis di perguruan tinggi. Dosen dapat dikategorikan subordinat jika tidak punya akses ke pejabat tinggi kampus yakni rektor dan pimpinan fakultas. Mereka dilarang bicara kritis, dilarang suarakan kebebasan mimbar akademik, dan dilarang kritik kebijakan negara dan kampus. Birokrasi kampus sudah tidak berbeda dengan praktek birokrasi negara yang otoritarian. Hal ini lagi-lagi berimplikasi buruk terhadap nasib,kebebasan dan lunturnya daya kritis dosen dari kelompok subordinat yang tidak punya akses kuasa pada penjabat kampus. Saya percaya bahwa ada jutaan orang yang tidak berani bersuara lantang, entah sebagai petani, buruh, nelayan ASN, dosen dan orang kecil lainnya, meski mengalami diskriminasi, perampasan hak dan alienasi memilih mendiamkan ketidakadilan yang dialami karena takut berhadap muka dengan pemilik otoritas kekuasaan.

Dalam konteks permasalahan orang-orang kecil yang dipinggirkan oleh negara dan elite politik sehingga tidak berdaya berhadapan dengan penguasa. Saya mengenalkan konsep lama dari seorang antroplog politik terkemuka James Scott tentang Senjata Orang-Orang Kalah (1985). Scott mengenalkan bentuk-bentuk dasar perlawanan/resistensi sehari-hari yang dilakukan oleh petani-petani kecil yang mengalami kondisi subordinat karena tidak memiliki akses pada majikannya. Meski subordinasi terjadi dalam relasi kuasa petani dan majikannya. Konsep ini menjadi relevan dan kontekstual untuk memahami lanskap politik dan birokrasi di Indonesia, sehingga bisa menjadi bisikan keras dari mereka yang kerap dibungkam Sejarah. Pergulatan tajam yang berujung penindasan kejam dan alienasi terhadap kaum tani, buruh, perempuan, dan masyarakat adat oleh negara dan korporasi memang pelik dan sengit terjadi. Selama ini banyak yang tidak berpikir bahwa situasi ketertindasan, marginalisasi, eksklusi dan diskriminasi tehadap kelompok subordinat oleh negara tidak memicu munculnya suatu contentation/kesadaran meminjam istilah Paolo Freire.

Bagi Freire situasi keterpurukan dan penindasan justru akan memicu kesadaran untuk mengenali akar dan sumber penindasan yang mendorong munculnya perlawanan dan resistensi. Teropong tajam yang menembus ilusi kekuasaan dan mengungkap bentuk-bentuk perlawanan tersembunyi yang sering kali tak tercatat dalam narasi resmi. Scott memperkenalkan kita pada konsep ‘ infrapolitik ‘ yaitu bentuk-bentuk perlawanan tersembunyi yang dijalankan oleh mereka yang tidak punya akses pada kekuasaan formal. Mulai dari gosip, nyanyian rakyat, humor, hingga kemalasan yang disengaja di ladang atau pabrik. semuanya adalah senjata kultural dari mereka yang tertindas. Mereka tak membawa senapan, tapi membawa simbol, kata, dan sikap diam yang subversif. Konsep yang ditawarkan Scott, seketika meruntuhkan logika dominan yang selama ini menganggap diam sebagai bentuk kepasrahan. Ternyata diam bisa jadi tanda bahaya, sebuah strategi menunggu waktu, menyimpan dendam sejarah, dan mengatur napas untuk melawan dalam bentuk lain.

Dalam masyarakat otoriter atau feodal, di mana menyuarakan protes bisa berujung hukuman, maka melawan secara simbolik menjadi pilihan yang cerdas dan strategis. Konteks Indonesia sangat relevan. Dari sawah-sawah di Pulau Jawa, ladang-ladang sagu di Papua, hingga pinggiran kota besar yang dipenuhi buruh harian, kita menyaksikan praktik-praktik ‘politik senyap’ ini setiap hari. Misalnya, penolakan diam-diam terhadap proyek tambang oleh masyarakat adat, atau keteguhan petani untuk tetap menanam benih lokal meski ditekan benih korporasi. Semua ini adalah bentuk ‘senjata orang-orang kalah ‘ dalam wajah Indonesia hari ini. Saya menolak dikotomi menang-kalah dalam definisi yang sempit. Ia karena scott pun memperluas makna kemenangan sebagai keberhasilan menjaga martabat, identitas, dan resistensi di tengah represi.

Kekalahan bukan akhir, tetapi ruang kontestasi terus-menerus. Memahami akar dan basis perlawanan orang-orang kecil yang dikembangkan dari pemikiran Scott akan membuat kita lebih rendah hati dalam memahami kekuasaan, serta lebih peka terhadap suara-suara kecil yang selama ini dikesampingkan oleh sejarah resmi. Karena di balik setiap diam, bisa jadi sedang ada gelombang besar yang menunggu pecah. Di era ketika suara-suara kritis makin dikebiri, memahami ‘ bahasa diam’ menjadi semakin penting. Karena kadang, yang paling lantang justru adalah yang tak terdengar.

*) Penulis adalah Staf ahli di DPD RI, Dosen UNBIM dan Fisip Upatma Mataram



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.