Dubes katakan WNI jangan coba-coba bekerja di Malaysia secara nonprosedural

id Dubes Hermono, Dato' Indera Hermono, Dubes RI Malaysia, Hermono, pekerja migran Indonesia, PMI, pelindungan PMI, KBRI Ku

Dubes katakan WNI jangan coba-coba bekerja di Malaysia secara nonprosedural

Arsip - Duta Besar RI untuk Malaysia Dato' Indera Hermono, di Kuala Lumpur, Selasa (18/11/2025), menunjukkan foto pekerja migran Indonesia asal Sumatera Barat yang mengalami penganiayaan di Malaysia. ANTARA/Rangga Pandu Asmara Jingga

Kuala Lumpur (ANTARA) - Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Malaysia Dato' Indera Hermono mengingatkan kepada seluruh warga negara Indonesia agar tidak sekali-kali mencoba bekerja di Malaysia secara nonprosedural atau tidak sesuai ketentuan.

Dubes Hermono dalam sesi podcast KBRI Kuala Lumpur, di Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu, menyampaikan, begitu banyak kerawanan dan risiko yang muncul akibat bekerja di Malaysia secara nonprosedural, khususnya bagi pekerja domestik atau sektor rumah tangga.

"Jadi teman-teman jangan coba-coba masuk ke Malaysia untuk bekerja dengan cara melanggar aturan. Jangan kerja 'kosongan' lah istilahnya," kata Dubes H

Dia mengingatkan, dalam setahun terakhir pemerintah Malaysia semakin gencar melakukan operasi-operasi penegakan hukum terhadap pendatang asing tanpa izin (PATI).

Pendatang asing tanpa izin yang tertangkap di imigrasi akan langsung dideportasi ke negara asal, atau bandara keberangkatan. Proses pemulangan itu seringkali menyita waktu, karena harus menunggu penerbangan yang memungkinkan, sehingga para PATI itu kerap terpaksa menginap di bandara Malaysia untuk menunggu kepulangan dengan keadaan kurang nyaman.

"Dalam beberapa bulan terakhir ini saya sering mendapatkan laporan dari masyarakat ataupun dari otoritas di Malaysia, banyak warga negara kita yang ditolak masuk ke Malaysia, istilahnya NTL, not to land, tidak diizinkan untuk masuk ke Malaysia, karena dicurigai akan bekerja (nonprosedural)," katanya.

Selain itu, kata Dubes Hermono, otoritas Malaysia juga memperketat pengawasan di bandara ataupun di pelabuhan, dengan dibentuknya suatu agensi baru bernama Agensi Kawalan dan Perlindungan Sempadan (AKPS).

AKPS akan betul-betul secara ketat melakukan pengawasan terhadap orang-orang asing yang masuk ke Malaysia, khususnya yang dicurigai akan bekerja, atau akan melakukan pelanggaran.

"Jadi jangan coba-coba masuk ke Malaysia untuk bekerja tetapi tidak sesuai prosedur karena kemungkinan akan ditolak masuk atau di-NTL, not to land, atau tidak diizinkan untuk masuk. Jadi kalau sudah begitu, nanti repot sendiri, karena nanti pasti akan dideportasi pulang, harus menunggu di bandara. Kadang-kadang menunggu penerbangan yang memungkinkan, ada yang dua hari, tiga hari di bandara," jelasnya.

Dia menegaskan warga negara Indonesia yang akan bekerja di Malaysia, harus menaati peraturan, atau melalui agensi yang benar agar aman.

Bekerja secara nonprosedural di Malaysia, selain berpotensi ditangkap oleh pihak berwenang, juga berisiko diperlakukan sewenang-wenang oleh oknum majikan, seperti tidak mendapat gaji, mengalami penganiayaan, hingga risiko kesulitan mengakses layanan kesehatan apabila sakit.

"Kami banyak menerima pengaduan masyarakat, orang-orang kita yang sakit di sini, tidak ada yang membiayai, karena tidak ada permitnya. Kalau ada permitnya kan ada asuransinya," ujar Dubes Hermono.

Dia menyampaikan KBRI dan KJRI di Malaysia tentu selalu berupaya membantu WNI atau pekerja migran Indonesia (PMI) yang kesulitan. Namun bagaimanapun juga uang negara memiliki batas.

Oleh sebab itu, dia mengingatkan dengan tegas, agar tidak ada lagi WNI yang mencoba-coba bekerja di Malaysia secara nonprosedural.

Pekerja domestik

Dubes Hermono menyampaikan pekerja asing di sektor domestik atau sektor rumah tangga di Malaysia memiliki risiko jauh lebih besar dibandingkan sektor-sektor lain, apabila berstatus nonprosedural.

"Terutama bagi mereka mbak-mbak (perempuan) ya, yang kerja di rumah tangga. Jangan sekali-kali 'kosongan'. Saya ingatkan jangan sekali-kali kerja 'kosongan' di sektor rumah tangga. Karena ini risikonya jauh-jauh lebih besar," tegasnya.

Dia mengatakan belum lama ini ada berbagai laporan tentang WNI pekerja rumah tangga nonprosedural yang tidak digaji selama 21 tahun, hingga mereka yang menjadi korban penganiayaan oleh majikan.

"Ada yang disiksa, disiram air panas sampai luka. Ada luka permanen dan lain-lain," jelasnya.

Berdasarkan data yang dihimpun KBRI, kasus-kasus pekerja yang tidak dibayar, penganiayaan, hingga penelantaran, sekitar 95 persen merupakan perempuan di sektor rumah tangga.

Dari total itu, sekitar 97 persen di antaranya adalah pekerja nonprosedural tanpa izin yang jelas.

Baca juga: Pameran World Press Photo 2025 tunjukkan dunia apa adanya

"Kalau yang laki-laki, apalagi bekerja di perusahaan, di restoran, relatif aman," kata dia.

Menurut dia, apabila Indonesia bisa menyelesaikan masalah pekerja rumah tangga nonprosedural ini maka pelindungan PMI di luar negeri, khususnya di Malaysia akan jauh lebih baik. Saat ini Indonesia dan Malaysia telah memiliki nota kesepahaman (MoU) terkait pelindungan PMI di sektor domestik.

Namun MoU itu akan sia-sia apabila PMI di Malaysia masih bekerja secara nonprosedural.

Baca juga: Pelaku penganiayaan keji PMI di Malaysia orang berpendidikan

"Dengan ikut jalur yang benar sesuai prosedur itu jauh lebih murah biayanya dibandingkan nonprosedural. Karena jika sesuai prosedur, majikan tidak boleh memungut biaya. Tapi kalau secara nonprosedural pasti dipotong, minimal kena enam bulan potongannya," papar Dubes Hermono.

Di sisi lain, dalam sesi wawancara dengan ANTARA beberapa waktu lalu, Dubes Hermono juga mendorong pihak imigrasi di Indonesia betul-betul bisa melakukan pencegahan terhadap calon pekerja migran nonprosedural, melalui profiling yang ketat.

Dengan profiling yang ketat, diharapkan jumlah pekerja migran Indonesia nonprosedural dapat terus ditekan atau semakin berkurang.


Pewarta :
Editor: I Komang Suparta
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.