PENGAMAT: POLITIK ANGGARAN PENDIDIKAN HARUS DIKAJI ULANG

id

Mataram, 2/7 (ANTARA) - Pengamat pendidikan dari Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Dr. Rusdiawan, menilai politik anggaran pendidikan harus dikaji ulang sehubungan adanya program sertifikasi guru.

"Kalau program sertifikasi sudah selesai, tentu pembayaran tunjangan para guru akan sangat gemuk. Ini tentu sangat berbahaya," kata Rusdiawan, di Mataram, Jumat.

Ia mengatakan, anggaran untuk sektor pendidikan relatif besar, dibandingkan dengan sektor lainnya yakni sebesar 20 persen dari APBN. Jika program sertifikasi rampung pada 2015, sekitar 70 persen anggaran akan tersedot untuk pembayaran gaji dan tunjangan tenaga pendidik.

Sementara sisanya sebesar 30 persen terbagi dalam beberapa bagian yakni untuk pembayaran biaya operasional sekolah (BOS) beasiswa dan infrastruktur.

Mestinya, kata dia, pemerintah lebih fokus anggaran terhadap peningkatan mutu pendidikan melalui pengadaan dan perbaikan infrastruktur pendidikan yang akan menunjang peningkatan mutu pendidikan di berbagai wilayah.

Menurut dia, program sertifikasi yang sudah berjalan belum mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan mutu pendidikan di berbagai wilayah, sementara biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran tunjangan tenaga pendidik yang sudah disertifikasi relatif sangat besar.

"Yang lebih menyedihkan, tidak ada korelasi antara program sertifikasi dan mutu pendidikan. Apa yang saya katakan ini juga pernah dikatakan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK)," katanya.

Rusdiawan yang juga Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mataram, menilai belum pahamnya masyarakat terhadap definisi pendidikan gratis juga sebagai dampak dari timpangnya struktur anggaran di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas).

Ia juga mengatakan, pemerintah pusat sudah memberikan kewenangan otonomi kepada sekolah-sekolah untuk bagaimana bisa meningkatkan mutu pendidikan, namun, hal itu tidak diimbangi dengan peran pemerintah daerah.

Hal itu berdampak terhadap terjadinya berbagai pungutan oleh pihak sekolah kepada masyarakat dengan mengatasnamakan untuk peningkatan sarana dan prasarana penunjang kegiatan belajar-mengajar di sekolah, terutama sekolah yang berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).

"Pemerintah hanya bermain pada tataran definisi sekolah gratis, sementara masyarakat menginterpretasikannya berbeda. Program pemerintah tentang pendidikan belum tersosialisasi secara menyeluruh," ujarnya
Rusdiawan menilai pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum berhasil dalam menyampaikan hal-hal yang positif kepada masyarakat meskipun sudah memiliki lembaga dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD).

Ia menambahkan, selama ini pemerintah cenderung lebih mengutamakan program pencitraan dibandingkan dengan memfokuskan pelaksanaan program-program strategis untuk kepentingan rakyat.

"Banyak sekali program-program pemerintah khususnya di bidang pendidikan yang tidak tersosialisasikan secara menyeluruh, sehingga partisipasi masyarakat yang ingin dibangun menjadi rendah," ujarnya.(*)