UI kehilangan sosok Sapardi Djoko Damono

id Sapardi djoko damono,UI,FIB UI,Devie rahmawati

UI kehilangan sosok Sapardi Djoko Damono

Penyair Sapardi Djoko Damono membacakan puisi pada acara Malam Pembacaan Puisi Hari Santri 2017, Ketika Kyai-Nyai-Santri Berpuisi "Pesantren tanpa Tanda Titik", di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, Senin (16/10). Hari Santri akan diperingati pada 22 Oktober 2017 mendatang. ANTARA FOTO/Dodo Karundeng/kye.

Depok (ANTARA) - Segenap insan akademi Universitas Indonesia (UI) merasa kehilangan atas meninggalnya Profesor Dr Sapardi Djoko Damono, penyair yang tersohor dengan puisinya "Aku Ingin" dan Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Tahun 1995-1999 itu.

"Kami sangat kehilangan sosok Sapardi. Ada banyak kenangan bersama alamarhum," kata Direktur Kemahasiswaan UI Devie Rahmawati di Depok, Minggu, ketika dimintai tanggapan atas meninggalnya Profesor Sapardi Djoko Damono penulis puisi "Aku Ingin".

Baca juga: Sastrawan Sapardi Djoko Damono meninggal dunia

Baca juga: Sastrawan Sapardi Djoko Damono dimakamkan di Giri Tonjong Bogor

Ia mengatakan salah satu momen yang paling membahagiakan bagi dia, ketika 10 tahun lalu menjadi mahasiswi di FIB UI, lembaga penyair Aku Ingin itu mengabdi selama ini.

"Itu kebanggaan saya karena dapat belajar di dalam ekosistem yang melahirkan tokoh, seperti Prof Sapardi Djoko Damono,” katanya.

Devie menyebut, karya-karya sastra almarhum bercirikan bahasa yang lugas, cerdas mewakili rasa, serta mampu menembus batasan usia.

“Inilah yang membuat banyak kalangan merasa dekat dengan sosok yang bersahaja ini," ujarnya.

Dikatakannya sebagai seorang ilmuwan sekaligus sastrawan, Sapardi tidak pernah membangun jarak dengan siapapun. Pemikiran hingga kelakarnya selalu beriringan dengan situasi kekinian.

“Tak heran, ketika Tahun 2017 kami mengundang beliau membahas tentang cinta, para milennial bersuka cita berteriak, 'aku ingin'. Kami sangat menikmati diskusi bersamanya," ujar Devie.

Salah satu penggalan puisi yang diingat Devie adalah semua yang ditinggalkan mungkin tidak akan setabah hujan di bulan Juni.

“Mengingat yang fana adalah waktu, maka karya-karya beliau akan terus abadi, tidak akan pernah terhapus oleh hujan yang meniadakan awan," katanya.

"Selamat jalan guru bangsa sastra Indonesia, kami mencintaimu. Itulah sebabnya kami tak pernah berhenti mendoakan keselamatanmu di akhirat," katanya.