Alfan Alfian
Kita berdiri di penghujung tahun. Tahun depan, sebentar lagi. Betapa waktu terus berjalan. Terasa cepat atau tidaknya, itu relatif. Kalau kita merasakannya lama, maka berjalannya waktu akan terasa lama. Kalau kita merasakannya sebentar dan cepat, maka waktu berjalan tak terasa alias sak klemetan.
Berbagai refleksi diselenggarakan. Kaledioskop diputar. Optimisme ditancapkan, dengan harapan tahun depan segala sesuatunya akan jauh lebih baik. Manusia “tidak dapat hidup” tanpa harapan. Harapanlah yang membuat manusia hidup, bertahan, optimis, berkembang.
Selama harapan masih ada, dan kita tidak terjebak dalam suasana putus-harapan alias putus-asa, maka dunia ini akan tetap lebar dan banyak peluang-peluang. Selama harapan kita rasakan tidak lagi ada, dan kita terjebak dalam suasana putus-harapan alias putus-asa, maka dunia ini akan tetap terasa sempit dan penuh ancaman.
Dunia terus berputar, waktu terus berjalan. Hukum alam (sunatullah) berlaku. Jasad manusia tiada yang abadi. Kita lahir, besar, tua, dan wafat. Ibnu Khaldun mengibaratkan bangkit jatuhnya peradaban-peradaban dunia pun melalui fase-fase demikian.
Yang akan dicatat secara abadi oleh zaman adalah amal-perbuatan. Manusia jasadnya boleh tiada dan hanya meninggalkan nama, tetapi apa yang telah diperbuatnya tercatat (recorded).
Manusia terikat tempat dan waktu. Tetapi substansi perbuatan, apakah baik atau tidak, abadi. Dari dulu sampai sekarang, bahkan hingga hari kiamat kebaikan tetaplah kebaikan, kejahatan tetaplah kejahatan. Sebesar biji sawi pun.
Kalau perspektifnya adalah akhlak, maka amal-kebaikan lah yang menjadi poros utama. Kalau perspektifnya politik-kekuasaan, maka menang-kalah lah yang menjadi perhitungan. Tetapi, apakah berpolitik, berekonomi, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, tetap saja ada nilai-nilai dan norma-norma dasar yang berlaku abadi.
Manusia adalah makhluk individual, sekaligus realitas sosial. Tak ada manusia yang betah hidup sendiri, sebagai makhluk individual. Ia membutuhkan yang lain. Ia butuh interaksi sosial. Ibnu Tufail dalam novel klasiknya Hayy Ibn Yaqzan, yang lantas menginspirasi Daniel Defoe menulis kisah Robinson Crusoe, cukup menggambarkan betapa manusia, sang makhluk religius itu, butuh lingkungan sosial yang wajar dan selayaknya.
Yang membuat manusia, tepatnya peradaban manusia, eksis dan berkembang itu apa? Sekedar nilai-nilai moralkah?
Filosof normatif cukup mengatakan demikian. Manusia dipandang positif sekali.
Tetapi kaum realis tidak demikian. Dalam pandangan yang terakhir, kondisi alamiah manusia adalah saling cek cok, berkonflik, meniadakan yang lain kalau mau eksis. Paradigmanya persaingan. Sejarah berjalan sesuai dengan hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang.
***
Dalam perspektif ini, yang baik kalau tak punya kuasa maka ia akan dilibas. “Yang baik” itu sendiri menjadi relatif di mata pemenang. Yang menang punya konsepsi sendiri tentang “yang baik”.
Dan sepanjang sejarah kita mencatat bahwa perang-perang yang ada, tidak selamanya seperti kisah Bharatayudha, yakni “yang baik ” versus “yang jahat”. Banyak perang yang menguras air mata sebab, yang bertengkar adalah “yang baik” versus “yang baik”.
Dunia modern telah terbentuk, dunia negara-bangsa dan pascanya, dengan segala konsekuensinya. Berbagai wacana berkembang dari “The End of Ideology”-nya Daniel Bell, “The End of History”-nya Fukuyama, dan terus berlanjut hingga zaman heboh Wikileak ini.
Pagelaran globalisasi tak dapat dilepaskan dari kepentingan-kepentingan mendasar negara-negara “pemenang perang”, baik pemenang perang dunia kedua maupun perang dingin. Tatanan dunia, semakin susah untuk dipandang semata-mata secara normatif, tetapi lebih mengajak pada perspektif realis-pragmatis.
Dalam kondisi seperti itu, semakin wajar, manakala keberhasilan bangsa-bangsa semakin diukur dari tingkat capaian materinya. Negara yang tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi, pendapatan per kapitanya tinggi, daya saingnya tinggi, nilai ekspornya tinggi, dan baik-baik sekali prestasi atas ukuran-ukuran ekonominya, maka semakin hebatlah ia.
Benar, memang demikianlah adanya. Bangsa yang kaya akan punya posisi tawar yang lebih besar ketimbang yang miskin. Yang paling ngenes adalah bangsa yang sudah miskin, direndahkan pula harga dirinya. Indonesia, “tak miskin-miskin amat” sesungguhnya, tetapi masih banyak beban yang perlu diurai.
Selama ekonomi kita masih dipandang “payah”, harga diri bangsa pun ikut terpuruk sedemikian rupa. Potret kita dari luar, antara lain terpampang nyata dari nasib ribuan Tenaga Kerja Indonesia yang terlunta-lunta –termasuk yang lari dan sembunyi di kolong jembatan di Jedah itu.
***
Kita masih serba-terbatas. Kita mau maju. Kita mau perubahan yang lebih baik. Sejak era reformasi, kita sudah berubah, tetapi perubahan itu belum sepenuhnya efektif untuk mencapai kemajuan-kemajuan kolektif bangsa. Banyak ekses, banyak implikasi negatif yang masih kita rasakan.
Politik makin seru, makin ramai, makin katakan “demokratis”. Tetapi makin pula membuat biayanya membengkak. Ongkos menyelenggarakan ritual demokrasi-elektoral besar sekali, apalagi manakala ditambah dengan merebaknya politik uang.
Konsentrasi politik yang “berlebihan”, melemahkan perhatian pada yang lain, yang tak kalah, atau bahkan lebih penting, yakni memajukan ekonomi bangsa. Liberalisasi pasar dan globalisasi yang tanpa “proteksi” membuat aktor-aktor “ekonomi lemah” seperti terjun bebas tanpa parasut yang mencukupi. Pendekatan neoliberalisme, merupakan pertaruhan, yang ditengarai lebih banyak eksesnya.
***
Berdiri di penghujung tahun, merasakan gerak zaman yang dinamis –tetapi juga banyak yang dirasakan statis, bahkan mundur. Ketika tulisan ini hendak diketik, seorang teman menelpon minta pekerjaan. Ia sedang menganggur. Tak lama kemudian sms datang dari yang lain, rekan yang tinggal di desa. Juga minta pekerjaan.
Yang susah adalah, bagaimana menjelaskan bahwa saya sendiri pun bukan agen penampung tenaga kerja. Saya akui susah untuk menjelaskan, dengan tanpa menyinggung perasaan, teman-teman kita yang sedang menganggur itu.
Pekerjaan, sesungguhnya banyak. Kesibukan mudah dicari. Maka, kata sebuah lawakan Srimulat, sesungguhnya tak ada yang namanya pengangguran. Cuma, yang susah adalah, “yang mau bayar itu siapa?”.
Pekerjaan yang dimaksud, tentu bukan seperti gotong royong di desa-desa. Sebuah pekerjaan sukarela yang tanpa bayaran. Yang menjadi soal adalah, ketika kita dihadapkan pada lingkungan yang serba harus membayar: membayar anak sekolah, membayar ongkos transportasi, dan mengongkosi ini itu kebutuhan hidup lain.
Maka, saran saya cuma sederhana, seperti syair lagunya Iwan Fals: “sabar sabar sabar dan tunggu”, tetapi masih ada tambahannya, berupayalah apa yang bisa diupayakan, tetap bekerjalah secara ikhlas, apa saja. Untuk bertahan hidup, semoga hari esok lebih baik lagi.
Jalani hidup dengan ikhlas, ihtiar dan tawakal.
Bersyukurlah, dalam keadaan miskin, “cukup”, kaya atau “kaya sekali” –dan tetaplah bersedekah. (***)
M. Alfan Alfian, Dosen di FISIP Universitas Nasional, Jakarta.