WARGA MISKIN NTB TAK PERLU TAKUT MELAHIRKAN Oleh Anwar Maga

id

Mataram, 10/1(ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat terus berupaya agar kasus kematian ibu melahirkan dan bayinya terus berkurang secara signifikan setiap tahun hingga mencapai angka nol di masa mendatang.

Berbagai upaya ditempuh agar ada perubahan nyata menuju angka kematian ibu melahirkan dan bayinya menjadi nol yang dikenal dengan program Akino (angka kematian ibu nol).

Program Akino dicanangkan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) periode 2008-2013 yakni TGH. M. Zainul Majdi, dan H. Badrul Munir, pada 17 Desember 2008 atau saat peringatan HUT ke-50 Pemprov NTB.

Keduanya optimistis salah satu program unggulannya itu akan mampu menepis bayang-bayang ketakutan seorang ibu yang hendak melahirkan, karena berbagai faktor penyebab.

Dari aspek medis, memang penyebab langsung kematian ibu akibat komplikasi pada kehamilan, persalinan dan nifas yang tidak tertangani dengan baik dan tepat waktu.

Komplikasi penyebab kematian ibu terbanyak akibat perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (eklamsia), infeksi partus lama dan komplikasi keguguran.

Namun, diyakini kemiskinan merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia, dan tentunya juga di wilayah NTB.

Ketidaksiapan keluarga merencanakan kehamilan dan kelahiran secara finansial merupakan indikator ketidakberhasilan pengelolaan keuangan yang baik dalam sebuah keluarga.

Tidak jarang ibu dari kalangan warga kurang mampu, yang hendak melahirkan lebih memilih pasrah dengan keadaan, dan cenderung takut untuk melahirkan di pusat pelayanan medis karena ketiadaan biaya.

"Tidak perlu takut melahirkan karena pemerintah akan menanggung biayanya. Ada Jamkesmas dan Jamkesmasda untuk menjamin pelayanan warga yang kurang mampu," ujar Majdi dalam berbagai kesempatan ketika menjelaskan program Akino.

Pemprov NTB mulai menerapkan program Akino sejak tahun anggaran 2009 dengan data angka kematian ibu melahirkan 320/100.000 kelahiran yang terdata di tahun 2008.

Sementara angka kematian bayi terdata sebanyak 72/10.000 kelahiran yang juga terdata di tahun 2008.

Diupayakan angka kematian ibu melahirkan dan bayi terus berkurang secara signifikan hingga mencapai 260/100.000 kelahiran untuk ibu melahirkan dan 42/10.000 kelahiran bayi di tahun 2013.

Diawal penerapan program Akino itu, didukung anggaran sebesar Rp18,07 miliar yang bersumber dari APBD Provinsi NTB dan APBD kabupaten/kota Se-NTB. Akino dikemas dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah (Jamkesmasda) NTB.

Program Jamkesmasda NTB itu terpisah dari program Jamkesmas yang diterapkan pemerintah pusat sejak 2004 yang diawali dengan Askeskin dan mulai 2008 dikenal dengan sebutan Jamkesmas.

Secara nasional, program Jamkesmas mencakup 76,4 juta jiwa dan khusus di Provinsi NTB sebanyak 2.028.491 jiwa atau sekitar 50 persen dari total penduduk NTB saat itu.

Namun, program Jamkesmas belum mencakup semua warga miskin sehingga Pemprov NTB menerapkan program Jamkesmas Daerah mulai 2009.

Acuan program Jamkesmasda itu yakni jumlah penduduk NTB sampai tahun 2007 sebanyak 4.292.491 jiwa dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 2.038.292 jiwa (53,8 persen).

Sementara program Jamkesmas dengan dukungan dana APBN bagi masyarakat miskin di wilayah NTB baru membiayai sebanyak 2.028.491 jiwa atau 87,9 persen dari total penduduk NTB.

Pembiayaan kesehatan untuk 2.028.491 jiwa masyarakat miskin di wilayah NTB itu, termasuk melalui PT Askes dan PT Jamsostek.

Dengan demikian, sisanya sebanyak 279.801 jiwa atau 12,1 persen masyarakat miskin yang tidak termasuk kuota sasaran Jamkesmas, menjadi tanggungan pemerintah daerah dengan porsi tanggungan 60 persen pemerintah kabupaten/kota dan 40 persen pemerintah provinsi.

Kepala Biro Administrasi Pembangunan Setda NTB, H. Arsyad Abdul Gani, mengatakan, gubernur dan wakil gubernur NTB menghendaki semua warga miskin mendapat pelayanan kesehatan gratis sehingga akan menanggung beban biaya masyarakat miskin yang belum tersentuh program Jamkesmas.

Bahkan, para kepala daerah di wilayah NTB yakni gubernur dan bupati/walikota telah sepakat untuk membentuk Badan Kerjasama Penyelenggara Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah (BKPJKD) guna mengakomodir pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat miskin, yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU), pada 28 Maret 2009.

"Model jaminan pembiayaan kesehatan itu dapat berupa paket santunan bagi masyarakat miskin yang menjalani perawatan inap di rumah sakit, Puskesmas, persalinan dan pelayanan gawat darurat," ujarnya.

Diyakini program Akino berdampak positif, meskipun belum terukur secara komprehensif, Pemprov NTB yang didukung unsur legislatif melanjutkan program tersebut di tahun anggaran 2010.

Dukungan anggaran untuk program Jamkesmasda dalam APBD 2010 relatif sama, namun ditambah penerapan program persalinan bebas biaya.

Persalinan bebas biaya itu akan diterapkan di puskesmas dan jaringannya serta ruang Kelas III RSUD kabupaten/kota dan RSU Provinsi NTB.

Pembiayaan semua persalinan itu akan ditanggulangi dengan dana Jamkesmasda dan untuk melaksanakan program pelayanan jaminan kesehatan itu, dibutuhkan anggaran sekitar Rp28,59 miliar lebih pada setiap tahun anggaran, yang dialokasikan dari APBD provinsi dan kabupaten/kota.

Pada APBD NTB 2010 aloaksi dana Jamkesmasda yang mencakup biaya persalinan gratis itu, hanya sebesar Rp18,07 miliar lebih, sehingga terjadi kekurangan sebesar Rp10,52 miliar lebih yang ditanggulangi pada APBD perubahan 2010.

Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeda) NTB, Rosiady Sayuti, mengatakan, program Akino kembali diprioritaskan dalam APBD 2011 sehingga dialokasikan dana sebesar Rp21,15 miliar.

"Jika kebutuhannya masih sekitar Rp28,59 miliar maka kekurangannya akan diupayakan dalam APBD perubahan 2011," ujarnya.

Benahi fasilitas

Pemprov NTB juga terus berupaya membenahi fasilitas medis baik rumah sakit maupun puskesmas untuk mendukung kesuksesan program kesehatan dasar gratis secara menyeluruh yang mulai diimplementasikan sejak 2009 itu.

Kepala Dinas Kesehatan NTB dr H. Mochamad Ismail, mengatakan, pembenahan fasilitas medis itu harus dilakukan karena program kesehatan dasar gratis secara menyeluruh harus ditunjang fasilitas medis yang memadai.

"Rumah sakit dan puskesmas akan menjadi tujuan utama masyarakat yang berhak mendapat pelayanan kesehatan dasar gratis itu sehingga fasilitasnya pun harus menunjang," ujarnya.

Karena itu, dukungan anggaran untuk peningkatan fasilitas medis rumah sakit maupun puskesmas juga harus ditingkatkan agar dapat menghasilkan bentuk pelayanan medis yang sesuai harapan masyarakat banyak.

Dukungan dana APBN menjadi harapan utama karena adanya keterbatasan dana APBD pada setiap tahun anggaran.

"Tentu perjuangan mendapatkan dukungan dana pusat terus dilakukan, antara lain dalam berbagai kesempatan pertemuan koordinasi atau dialog lepas," ujarnya.

Menurut Ismail, untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat itu, pemerintah terus berupaya memperbanyak pos pelayanan terpadu atau posyandu mandiri di berbagai desa dan kelurahan.

Versi Dinas Kesehatan Provinsi NTB, hingga kini posyandu yang sudah dikategorikan mandiri di wilayah itu baru dua persen atau sekitar 115 unit dari total 5.766 unit posyandu yang tersebar di 10 kabupaten/kota.

Padahal, Posyandu merupakan tulang punggung program peningkatan kesejahteraan ibu dan anak di desa/kelurahan.

Penyebab utama posyandu di NTB sulit mandiri yakni kurangnya kepedulian berbagai pihak terkait termasuk kalangan eksekutif dan legislatif di kabupaten/kota dalam mengalokasikan anggaran revitalisasi posyandu.

Sebagai contoh, upah untuk kader posyandu di berbagai kabupaten/kota di wilayah NTB yang relatif minim yakni hanya Rp20 ribu per bulan dan bervariasi antarkabupaten/kota.

Jumlah kader posyandu di setiap kabupaten/kota pun relatif terbatas, rata-rata dibawah lima orang per desa/kelurahan.

Kendati demikian, pihaknya terus berupaya mengembangkan posyandu di berbagai daerah agar menjadi basis pelayanan medis di tengah kehidupan masyarakat yang mampu meningkatkan kualitas hidup warga setempat.

Kader-kader posyandu harus mampu meyakinkan warga setempat yang membutuhkan pelayanan medis untuk selalu memperhatikan banyak hal yang berkaitan dengan kualitas kesehatan.

Kader posyandu pun harus mampu membantu meningkatkan kualitas kesehatan ibu-ibu hamil hingga melahirkan bayi yang juga berkualitas.

"Misalnya, selalu mengingatkan masyarakat agar memperhatikan usia kawin yang semestinya minimal telah berusia 17 tahun, karena perkawinan bukan hanya penyatuan fisik berlawanan jenis kelamin namun untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang berkualitas," ujarnya.

Pihaknya juga akan terus berupaya merangsang semua pihak untuk melaksanakan revitalisasi posyandu.

Gubernur NTB, KH. M. Zainul Majdi, MA, juga telah mengeluarkan surat imbauan yang ditujukan kepada para bupati/walikota agar menyukseskan program revitalisasi posyandu sebagai agenda nasional.

Ismail mengakui, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di tingkat akar rumput, berbagai hal patut dilakukan antara lain peningkatan jumlah bidan desa hingga mencukupi kebutuhan, dan peningkatan sarana prasarana kesehatan.

Idealnya satu desa minimal memiliki seorang bidan sehingga jumlah bidan desa yang dibutuhkan mencapai 917 orang sesuai jumlah desa yang ada.

Kini, baru sekitar 70 persen desa di wilayah NTB yang sudah memiliki bidan sehingga masih kekurangan 30 persen, yang tengah diupayakan dari tenaga medis Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang didanai Kementerian Kesehatan, dan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD).

Pemprov NTB juga berupaya menambah fasilitas pendukung operasional bidan desa di berbagai kabupaten/kota.

Akhir 2010 lalu, Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi, menyerahkan 45 unit sepeda motor khusus untuk para bidan desa, masing-masing lima unit untuk Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima dan Kota Bima.

Bantuan sepeda motor untuk para bidan desa itu merupakan bagian dari program Health System Decentralization (HSD) yang diterapkan di Indonesia.

Program HSD merupakan kebijakan desentralisasi yang mendapat perhatian besar dalam memajukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, karena mencakup perbaikan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.

"Ini bagian dari upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, yang antara lain bertujuan meningkatkan kualitas kesehatan ibu melahirkan beserta bayi yang dilahirkan," ujar Ismail.

Selain itu, Pemprov NTB juga gencar melobi negara-negara Timur Tengah untuk membantu mendanai pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dan sudah ada yang bersedia membantu membangun 117 unit Poskesdes guna mendukung program Akino.

Pembangunan 117 unit poskesdes itu merupakan bagian dari dukungan Konglomerasi asal Arab Saudi, Saudi Bin Laden Group, yang mengalokasikan lima juta dolar AS atau sekitar Rp50 miliar untuk membantu pemerintah daerah di NTB memberdayakan masyarakat hingga tiga tahun ke depan.

Bantuan luma juta dolar AS itu merupakan dana hibah yang akan dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat NTB di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan masyarakat sipil (bantuan usaha untuk masyarakat miskin).



Pinjam kartu

Penerapan program Jamkesmas dan Jamkesmasda di wilayah NTB juga tidak semuanya berjalan lancar sesuai harapan berbagai pihak.

Masih ada warga miskin yang mengeluh kesulitan mendapatkan pelayanan medis, demikian pula manajemen rumah sakit selaku pelayan peserta Jamkesmas dan Jamkesmasda itu.

Direktur Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) NTB Lalu Mawardi Amry mengatakan, banyak pasien yang menggunakan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat pinjaman milik orang lain ketika menjalani perawatan medis di rumah sakit pemerintah provinsi itu.

"Banyak yang pakai kartu jamkesmas milik orang lain, dan itu merupakan salah satu masalah yang terjadi selama ini," ujar Mawardi, namun ia tidak merinci jumlah pasien yang menggunakan kartu jamkesmas pinjaman itu, ketika diminta penjelasan lebih lanjut.

Ia mengatakan, pihaknya tetap menggratiskan biaya pelayanan kesehatan bagi pasien dari keluarga miskin yang tidak memiliki kartu peserta jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) maupun jamkesmas daerah, namun harus ada jalinan kerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota.

Sejauh ini, pola pelayanan gratis untuk pasien miskin ditempuh melalui program Jamkesmas, Jamkesmasda dan kartu tidak mampu yang diterbitkan sekretaris daerah (sekda) di kabupaten/kota.

Pelayanan Jamkesmas di tahun 2009 di RSUP NTB, misalnya, mencakup 28.877 orang pasien, terdiri dari 15.710 orang pasien rawat jalan, 5.880 orang pasien rawat inap dan 7.237 orang pasien gawat darurat yang terlayani melalui Instalasi Rawat Darurat (IRD).

Sementara pelayanan Jamkesmasda tahun 2009 mencakup 6.152 orang pasien, terdiri dari 1.402 orang pasien rawat inap, 3.348 orang pasien rawat jalan dan 1.402 orang pasien IRD.

Khusus pelayanan kesehatan menggunakan kartu tanda tidak mampu dari sekda, sedang direkapitulasi pihak-pihak terkait.

Data pelayanan Jamskesmas, Jamkesmasda dan kartu tidak mampu tahun 2010 mengacu kepada data tahun 2009, namun masih mungkin bertambah sepanjang dapat dibuktikan keberadaan warga miskin tersebut.

Hanya saja, kata Mawardi, seringkali pasien dan sanak keluarganya pengguna kartu jamkesmas dan jamkesmas daerah mengklaim kurang mendapat pelayanan medis di RSUP NTB itu.

Menurut dia, hal itu dilatari oleh prasangka-prasangka sepihak yang tidak cukup berdasar karena pola pelayanan medis di RSUP NTB tidak membeda-bedakan pasien.

"Mungkin saja secara kebetulan ada orang kaya yang masuk IRD dan dilayani lebih dulu dari pasien keluarga miskin yang saat itu belum butuh penanganan darurat, kemudian diasumsikan ada perbedaan penanganan pasien," ujarnya.

Mawardi pun memastikan bahwa perawat dan dokter tidak membeda-bedakan pasien dari keluarga mampu dan kurang mampu karena tidak memengaruhi nilai jasa medik yang diperoleh setiap bulan.

Jasa medik itu bersumber dari berbagai pendapatan rumah sakit, sementara pasien dari keluarga miskin maupun kaya tetap menghasilkan pendapatan bagi rumah sakit karena ditanggulangi negara melalui jamkesmas dan jamkesmas daerah bagi pasien miskin.

"Saya pastikan tidak ada kaitannya dengan jasa medik, perawat dan dokter tetap akan melayani semua pasien sesuai tuntutan kebutuhan pelayanan, yang membedakan penanganan pasien itu tingkat emergensinya, bukan pasien miskin atau kaya," ujarnya. (*)