CHINA PENJARAKAN PENULIS MUDA TIBET

id

Beijing (ANTARA /AFP) - Seorang penulis muda Tibet dihukum empat tahun penjara setelah ia ikut menulis esei-esei yang ditujukan pada kebijakan-kebijakan China di wilayah itu sejak aksi kekerasan meletus tahun 2008, kata satu kelompok hak asasi manusia, Sabtu. Tashi Rabten, redaktur sebuah majalah yang dilarang Eastern Snow Mountain dihukum bulan lalu di Aba, provinsi Sichuan, China barat daya, kata Kampanye Internasional untuk Tibet (ICT). Menurut kelompok yang berpangkalan di Amerika Serikat itu ia ditahan selama lebih dari satu tahun sebelum dihukum, dan tiga penulis lainnya bersama dia dipenjarakan Desember tahun lalu. ICT tidak mengatakan tuduhan apa yang dikenakan terhadap dia. Tashi Rabten, adalah penulis bersama bagi satu koleksi esei-esei berjudul "Menulis dengan Darah", kata kelompok itu. Ini menceritakan situsi di daerah-daerah Tibet sejak Maret 2009, ketika aksi kekerasan anti-pemerintah meletus di Lhasa, ibu kota Tibet dan kemudian meluas ke provinsi-provinsi tetangga yang banyak dihuni warga Tibet. Ketika menelpon Pengadilan Rakyat Aba, tempat ICT mengatakan Tashi Rabten dihukum 2 Juni, tidak dijawab. Pemerintah daerah itu tidak memberikan komentar ketika dihubungi AFP. ICT mengatakan majalah itu pertama menerbitkan jurnal berbahasa Tibet tentang "tindakan keras yang terjadi mulai tahun 2008 dan seterusnya, memberikan satu perspektif kritis yang mencerminkan satu rasa putus asa dan korban jiwa, tetapi juga satu jalan ke depan." Pemerintah China menyatakan bahwa standar hidup warga Tibet membaik dalam puluhan tahun belakangan ini dan menyatakan miliaran dolar telah dikeluarkan untuk prasarana dan proyek-proyek pembangunan. Tetapi ketegangan mendalam di daerah-daerah Tibet, di mana para warga Tibet menuduh pemerintah berusaha menghapuskan kebudayaan mereka, dan mengecam apa yang mereka anggap sebagai dominasi yang meningkat kelompok etnik Han China yang mayoritas. Pada April tahun ini, pasukan lokal dan keamanan terlibat bentrokan di biara terkenal Kirti di Aba setelah seorang biarawan membakar dirinya dan tewas agaknya untuk memrotes pemerintah, kata kelompok-kelompok hak asasi manusia.(*)