DPRD NTB TETAPKAN PERDA PENGELOLAAN TAMBANG MINERBA

id

     Mataram, 20/2 (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat akhirnya menetapkan rancangan peraturan daerah menjadi peraturan daerah, yang mengatur tentang pengelolaan tambang mineral dan batubara, setelah berkali-kali melakukan penyempurnaan.

     Penetapan rancangan peraturan daerah (raperda) menjadi peraturan daerah (perda) tentang pengelolaan tambang mineral dan barubara (minerba) itu, dicapai dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), di Mataram, Senin.

     Hadir dalam rapat paripurna DPRD NTB itu Wakil Gubernur NTB H Badrul Munir, dan sejumlah pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait di jajaran Pemerintah Provinsi NTB.

     Penetapan perda itu, dilakukan setelah mendengar pandangan akhir Panitia Khusus (Pansus) Pengelolaan Tambang Minerba DPRD NTB.

     Pansus itu menyampaikan pandangan akhirnya setelah melaksanakan studi komparatif di Provinsi Sumatera Utara, yang dilanjutkan dengan konsultasi akhir di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di Jakarta, 12-15 Februari 2012.

     Ketua Pansus Pengelolaan Tambang Minerba DPRD NTB Ruslan Turmudji, mengatakan, perda pengelolaan pertambangan minerba yang ditetapkan itu berisi 16 bab, 60 pasal dan 132 ayat, yang diharapkan mampu mengakomodasi 19 kewenangan pemerintah provinsi dan menjawab 12 isu strategis.

     Kewenangan pemerintah provinsi di bidang pertambangan sesuai Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, antara lain pembinaan dan pengawasan, pengaduan masyarakat, pengaturan jasa usaha lokal dan ketentuan lainnya seperti tata cara penutupan tambang.

     Dalam undang undang minerba itu, pemerintah provinsi juga berperan dalam pengusahaan pertambangan minerba yakni pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), pemberian UIP, dan pengaturan seluruh kegiatan pengelolaan pertambangan.

     Wewenang itu dapat berupa kegiatan penyelidikan, pengelolaan dan pengusahaannya dengan cakupan kegiatan usaha pertambangan mulai dari penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

     Sementara isu-isu strategis di bidang pertambangan minerba yang patut disikapi pemerintah provinsi antara lain, optimalisasi potensi usaha penambangan lokal, penyelesaian konflik tambang, dan keterbukaan informasi publik atau jaminan transparansi.

     "Memang agak lama pembahasannya hingga penetapan, karena ada banyak yang hal yang disempurnakan, dan butuh referensi tambahan dari berbagai pihak," ujarnya.

     Ruslan menyontohkan referensi terkait pengaturan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan kepala daerah, namun dikehendaki pencabutannya oleh masyarakat banyak.

     Seperti yang terjadi di Kabupaten Bima, yakni adanya tuntutan pencabutan IUP usaha pertambangan, namun Bupati Bima Ferry Zuilkarnaen merasa tidak mempunya alasan yang mendasar.

     "Gubernur NTB pun tidak memiliki alasan untuk itu, sehingga kami atur dalam pasal perda pengelolaan tambang itu," ujarnya.

     Pasal lainnya, kata Ruslan, mempertegas soal wilayah usaha pertambangan pada setiap tahapan kegiatan, yang sekarang masih dirasakan multitafsir sehingga memicu aksi-aksi massa yang berujung tindakan anarkis.

     Batas wilayah pertambangan pada setiap tahapan kegiatan harus jelas. Tahapan eksplorasi, misalnya, yang boleh mencakup wilayah mana saja agar tidak melibatkan lokasi permukiman dalam areal wilayah tambang pada tahapan itu.

     "Demikian pula pada tahapan eksploitasi, harus jelas definisi wilayah usaha pertambangannya pada tahapan itu, agar menutup ruang protes pihak-pihak tertentu. Masalah ini juga telah mencuat di Kabupaten Bima," ujarnya.

     Ruslan juga menyebut permasalahan "smelter" atau penampungan konsentrat hasil eksploitasi yang juga diatur dalam perda tersebut.

     Perda tersebut juga mengatur kewenangan pemerintah provinsi dalam pengawasan lingkungan tambang dan keberlanjutan usaha penambangan, dan kewenangan pemerintah provinsi dalam pemberdayaan warga miskin di lingkar tambang, dan kewenangan pengawasan dana tanggungjawab sosial perusahaan tambang.

     "Harus ada pengaturannya, karena selama ini terkesan dana CSR perusahaan tambang dimanfaatkan semau-maunya, sehingga ada kesan politik di sana," ujarnya.

     Politisi dari PDI Perjuangan itu mengakui, usul saran Deputy Direktur Hubungan Komersial Dirjen Minerba Kementrian ESDM, Muhammad Taswin, dan Sony Heru Prasetyo dari Bagian Hukum dan Perundang Undangan Dirjen Minerba, sudah diakomodasikan dalam perda itu.

     Saat berkonsultasi ke Jakarta, kedua pejabat Kementerian ESDM itu menyarankan perda pengelolaan tambang minerba di NTB itu harus mengatur hal-hal yang lebih spesifik, agar tidak tumpang-tindih dengan aturan yang lebih tinggi.

     "Kami pahami usul-saran Kementerian ESDM, bahwa hal-hal umum telah diatur dalam Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, sehingga kami mengatur yang lebih spesifik," ujarnya. (*)