GUBERNUR AJAK KOMPAS GRAMEDIA SOSIALISASIKAN DUA ABAD TAMBORA

id

     Mataram, 1/10 (ANTARA) - Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH M Zainul Majdi, mengajak Kompas Gramedia untuk ikut berpartisipasi aktif dalam menyosialisasikan rencana peringatan peringatan dua abad meletusnya Gunung Berapi Tambora, yang diagendakan 11 April 2015.

     "Peringatan dua abad meletusnya Gunung Tambora kami agendakan 11 April 2015, mudah-mudahan Kompas bisa ikut berpartisipasi," kata Zainul  pada "Grand Opening" Hotel Santika Mataram-Lombok, di Mataram, Senin.

     Hotel Santika Mataram itu merupakan salah satu bisnis Kompas Gramedia, sehingga :grand opening" Santika Hotel Mataram itu, dihadiri CEO Kompas Gramedia yang juga Direktur Utama PT Grahawita Santika Agung Adiprasetyo, Direktur Eksekutif PT Grahawita Santika Lilik Oetama.       Zainul mengatakan, meletusnya Gunung Tambora merupakan salah satu peristiwa letusan gunung berapi terdahsyat di dunia, sehingga patut diperingati sebagai bagian dari sejarah umat manusia.

     Pemprov NTB hendak menjadikan peringatan dua abad Tambora itu sebagai even pariwisata dunia, setelah puncak program Visit Lombok Sumbawa (VLS) di penghujung 2012.

     "Konon, Napoleon kalah perang karena distribusi logistik yang cukup panjang dihalangi oleh kabut letusan Gunung Tambora. Ini sejarah yang perlu diperingati bersama umat manusia di dunia," ujarnya.

     Zainul mengakui, Pemerintah Provinsi NTB gencar menyebarluaskan informasi tentang peringatan dua abad meletusnya Gunung Berapi Tambora, agar diketahui berbagai kalangan sejak dini.

     Pemprov NTB juga tengah mempersiapkan "roadmap" atau pedoman teknis untuk menggelar peringatan dua abad meletusnya Gunung Berapi Tambora itu.

     "Roadmap" itu merupakan acuan utama bagi instansi terkait untuk terlibat aktif dalam kegiatan memperingati dua abad meletusnya Gunung Tambora.

     Pemprov NTB berharap "roadmap" itu didukung Keputusan Presiden (Keppres) sehingga selain unsur pemerintah daerah, juga adanya keterlibatan instansi terkait di tingkat pusat.

     Terdapat tiga agenda besar dalam peringatan dua abad meletusnya Gunung Tambora, yakni kegiatan sosialisasi sekaligus promosi keunggulan Gunung Tambora, pengembangan situs dan daya tarik wisata, dan pengembangan infrastruktur pendukung seperti jalan dan pelabuhan laut.

     Gunung Tambora atau Tomboro adalah sebuah stratovolcano aktif yang terletak di dua kabupaten di Pulau Sumbawa, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi NTB.

     Gunung Tambora terletak di sisi utara maupun selatan kerak oseanik, yang terbentuk oleh zona subduksi di bawahnya dan berada pada ketinggian sampai 4.300 meter persegi sehingga pernah menjadi salah satu puncak tertinggi di Nusantara dan mengeringkan dapur magma besar di dalam gunung itu, padahal diperlukan waktu seabad untuk mengisi kembali dapur magma tersebut.

     Aktivitas vulkanik gunung berapi ini mencapai puncaknya pada bulan April tahun 1815 ketika meletus dalam skala tujuh pada Volcanic Explosivity Index.

     Letusan tersebut menjadi letusan tebesar sejak letusan danau Taupo pada tahun 181, karena letusan Gunung Tambora terdengar hingga pulau Sumatera (lebih dari 2.000 km).

     Abu vulkanik jatuh di Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Maluku. Letusan gunung ini menyebabkan kematian hingga tidak kurang dari 71.000 orang dengan 11.000—12.000 di antaranya terbunuh secara langsung akibat dari letusan tersebut.

     Bahkan beberapa peneliti memperkirakan sampai 92.000 orang terbunuh, meski angka tersebut diragukan karena berdasarkan atas perkiraan yang terlalu tinggi lantaran tiga kerajaan yakni Kerajaan Pekat, Tambora dan Sanggar, dilaporkan ikut terkubur.

     Saat itulah diperkirakan kapal kuno terkubur bersama awaknya dalam letusan Gunung Tambora.

     Selain itu, letusan Gunung Tambora juga menyebabkan perubahan iklim dunia, yang mencuat satu tahun berikutnya (1816) yang sering disebut sebagai tahun tanpa musim panas karena perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa karena debu yang dihasilkan dari letusan Tambora itu.

     Akibat perubahan iklim yang drastis ini banyak panen yang gagal dan kematian ternak di Belahan Utara yang menyebabkan terjadinya kelaparan terburuk pada abad ke-19. (*)