Serenade Cakepung di Kaki Gunung Agung

id Cakepung Budakeling

Serenade Cakepung di Kaki Gunung Agung

Cakepung, teater tradisional yang diciptakan secara spontanitas (Ist)

Cahaya matahari meremang kala `sandikala` tiba, dibingkai nyanyian syahdu debur ombak lautan, gugusan pulau di kejauhan dan kepak burung camar di kejauhan yang beranjak pulang, merupakan latar belakang kala kesenian Cakepung dihadirkan di Pulau Dewat

Sejumlah lelaki berpakaian adat, duduk melingkar beralas tikar pandan, ketika hari menghampiri malam di sebuah pedesaan teduh di kaki Gunung Agung.

Udara dingin sejenak menerpa, tatkala hembusan angin dari lereng gunung menelusup ke relung perkampungan. Namun hanya sejenak, dan kebekuan udara seketika tergantikan getar kegembiraan ketika suara koor mengumandang `Pung-Cake-Pung-Cake-Pung`.

Kumandang koor diselingi nyanyian: `Silak niki lempot kaji arak saek. Dadang baruk layuan. Wakkunyitin kaji rubin. Teng kaji miak iya wastra`.

"Kami sedang berlatih Cakepung. Kegiatan berlatih sering kami lakukan pada sore hari hingga menjelang malam, ketika kami sama-sama memiliki waktu senggang," kata Ketut Suarjaya, pelatih vokal grup kesenian Cakepung di Banjar Budakeling, Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali.

Suarjaya menuturkan, kesenian Cakepung sudah eksis sejak zaman dahulu kala di Budakeling. Bermula dengan didirikannya grup kesenian Cita Wistara pada tahun 1915 untuk mewadahi berbagai jenis kesenian tradisional, salah satunya Cakepung.

Pendiri Cita Wistara adalah Ida Wayan Tangi, Ida Ketut Rai dan Ida Wayan Putu. Generasi selanjutnya yang melanjutkan grup kesenian tersebut adalah Ida Wayan Padang, Ida Ketut Oka, Gede Rata, Ida Pedanda Gede Made Jelantik Karang dan lainnya.

"Penyebutan Cakepung berasal dari kata `Encep` yang maknanya adalah harmonisasi antara seni tabuh, tari dan irama. Sedang `Pung` mengandung arti peniruan dari suara alat musik gamelan gong," ujar pria berusia 65 tahun ini.

Alat musik yang ditirukan, kata Suarjaya, adalah suara jegog, kempur, rincik, kendang dan lainnya. Selain menirukan alat musik, pementasan Cakepung selalu diwarnai dengan pembacaan naskah lontar yang mengisahkan tentang petuah-petuah leluhur yang sarat dengan ajaran moral.

Lontar yang digunakan sebagai acuan dalam pementasan Cakepung disebut Lontar Monyeh, yang menuturkan kisah tentang seorang putri jelita bernama Diah Winangsia. Di tengah berbagai cobaan hidup yang dijalani Diah Winangsia hingga membuatnya selalu dirundung duka, putri itu bertemu dengan seekor monyet.

Sebenarnya, monyet itu adalah pria bernama Raden Witara Sari yang sedang menyamar. Ketulusan hati Diah Winangsia, membuat monyet itu terketuk hatinya dan akhirnya melepaskan putri dari berbagai penderitaan hidup. Pasangan Diah Winangsia dan Raden Witara Sari akhirnya memutuskan menikah. Mereka pun senantiasa hidup dalam kebahagiaan.

Melalang hingga Negeri Sakura

Kedinamisan kesenian Cakepung, tidak hanya membius minat turis lokal. Penggemar kesenian di mancanegara pun tidak kalah antusias dalam menikmati keseluruhan adegan, serta larut dalam kemeriahan teater bertutur, yang merupakan adaptasi budaya Bali dan Lombok.

"Selain tampil di kota-kota besar di Indonesia, kami juga pernah tampil di negeri sakura, Jepang. Sambutannya meriah sekali waktu itu. Tapi sekarang turis luar negeri lebih suka melihat kami tampil di Bali sekalian untuk menikmati pemandangan alam," kata pensiunan PNS di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Karangasem ini dengan mata berbinar.

Kegairahan turis mancanegara untuk menikmati kesenian Cakepung di Pulau Dewata, membuat grup Cita Wistara setiap bulan tidak pernah sepi menerima undangan untuk berpentas di hotel-hotel di wilayah Tanah Lot, Sanur, Nusa Dua dan lainnya.

Keeksotisan alam Bali, ketika cahaya matahari meremang kala `sandikala` tiba, dibingkai nyanyian syahdu debur ombak lautan, gugusan pulau di kejauhan dan kepak burung camar di kejauhan yang beranjak pulang, merupakan latar belakang kala kesenian Cakepung dihadirkan di Pulau Dewata, dan menjadi kenangan tak terlupakan bagi wisatawan.

"Kalau kami tampil di hotel, biasanya menerima honor sekitar Rp200 ribu per seniman. Sebenarnya kami tidak mematok tarif, karena tujuan kami yang utama adalah melestarikan kesenian ini agar terus terjaga keberadaannya," kata Suarjaya.

Belakangan ini, kesenian Cakepung di Budakeling dipadukan dengan Borda, yakni kesenian yang menyanyikan risalah Rasul yang digubah dengan bentuk syair yang dilantunkan. Paduan antara Cakepung - Borda, akulturasi budaya Hindu-Islam, membawa penyegaran baru dalam genre kesenian ini.

"Paduan Cakepung-Borda banyak menarik minat penikmat seni, hingga minta kami untuk tampil di berbagai tempat. Beberapa kali kami diajak berpentas, seperti pada hari peringatan kemerdekaan Indonesia, kami tampil di Amlapura. Kami bersyukur, kegiatan kami mendapat apresiasi yang baik," katanya.

Selain itu, pria dua putra ini menegaskan, keberadaan kesenian Cakepung-Borda makin meningkatkan minat masyarakat terhadap kesenian. "Paduan Cakepung-Borda kian mengharmoniskan kerukunan antarumat beragama di wilayah Budakeling dan sekitarnya," kata dia.

Sejarah

Dahulu kala, pada zaman kerajaan di mana raja dari Kerajaan Karangasem AA Anglurah Karangasem, berhasil memenangkan peperangan dan menakhlukkan musuh, maka untuk menghibur segenap prajurit, digelarlah teater tradisional yang diciptakan secara spontanitas, tanpa mengandung konsep tertentu.

Teater bertutur ini sebagai ungkapan kegembiraan, sehingga dalam setiap pagelarannya selalu ditemani minuman untuk menghangatkan suasana. Pada perkembangan berikutnya, teater itu mendapat sebutan Cakepung dan sering dipertontonkan untuk menghibur masyarakat atau menyampaikan pesan tertentu melalui pembacaan pantun di akhir pertunjukan.

Disinggung awal keterlibatannya dengan Cakepung, Suarjaya menyatakan, dirinya seperti terlahir untuk menjadi seniman Cakepung. Dikatakannya, sejak kecil dirinya terbiasa menyaksikan ayahnya, Gede Rata, berkecimpung di bidang kesenian itu, sehingga darah seni seakan mengucur pada dirinya.

"Kedekatan ayah dengan kesenian, membuat saya pun begitu lekat dengan bidang ini. Bahkan tidak hanya saya yang berkecimpung di dunia kesenian, salah seorang kakak saya pun kini dikenal sebagai pembuat alat musik pengiring joged," ujar lelaki dari delapan bersaudara ini.

Suarjaya mengaku, sampai kapanpun dirinya akan tetap menggeluti bidang kesenian. Semangatnya makin bertambah karena sejak 2012, Desa Budakeling resmi menjadi desa wisata spiritual. Sejak resmi menjadi desa wisata, banyak sekali turis asing berkunjung ke desa itu, untuk meresapi sekaligus menghayati keseharian warga dengan berbagai kegiatannya.

Turis asing yang berkunjung mayoritas berasal dari Prancis, Jepang dan Korea, yang betah menginap beberapa hari serta membaur dengan kehidupan penuh kebersahajaan di Budakeling.

"Selain senang menikmati pemandangan alam dengan bersepeda, turis asing juga banyak yang berminat belajar seni tradisional. Malah Tidak sedikit turis yang ingin mendalami seni Cakepung," ujar yang dikenal dengan panggilan Ketut Jayakumara dengan nada bangga.

Melihat minat turis asing pada kesenian, Suarjaya makin giat mengenalkan generasi muda pada kesenian Cakepung, agar nanti ada regenerasi yang mengenalkan kebudayaan setempat pada setiap wisatawan yang datang berkunjung ke Budakeling.

"Sudah mulai dirintis usaha pengenalan Cakepung pada generasi muda oleh ketua kami, Ida Wayan Oka Adnyana. Banyak yang berminat dan anak-anak muda malah sudah sering diajak berpentas. Sebagai orang tua, kami bersyukur sekali melihat kondisi ini," ujarnya.

*) Penulis buku dan artikel

Pewarta :
Editor: Dina
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.