Dirjen Peternakan: Indonesia masih impor sapi pada 2014

id Dirjen Peternakan: Indonesia masih impor sapi pada 2014

Dirjen Peternakan: Indonesia masih impor sapi pada 2014

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Syukur Iwantoro mengatakan, Indonesia masih mengimpor sapi pada 2014, sehingga program swasembada daging sapi/kerbau 2014 belum bisa tercapai. (Sapi impor)

"Masih terjadi impor sapi/kerbau di 2014, guna memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri," kata Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro.
Mataram (Antara Mataram) - Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Syukur Iwantoro mengatakan Indonesia masih mengimpor sapi pada 2014, sehingga program swasembada daging sapi/kerbau 2014 belum bisa tercapai.

"Masih terjadi impor sapi/kerbau di 2014, guna memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri," kata Syukur ketika memaparkan materi tentang tantangan, hambatan dan upaya pencapaian swasembada daging sapi dan kerbau, pada simposium nasional peternakan, yang digelar di kampus Universitas Mataram (Unram) di Mataram, Kamis.

Simposium peternakan itu digelar terkait Dies Natalis ke-47 Unram, dan Lustrum IX Fakultas Peternakan Unram.

Simposium dengan tema "populasi ternak dan kebutuhan daging: membedah peluang dan tantangan program swasembada daging 2014" itu, dibuka oleh Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi.

Syukur mengatakan, perkiraan kebutuhan daging sapi pada 2014 sebanyak 575,88 ribu ton (sesuai rencana aksi dalam pertemuan di Bukittinggi, 29 Oktober 2013).

Sementara potensial stok (sapi/kerbau lokal) setara daging sebanyak 530,55 ribu ton (hasil olahan Survei Ternak 2013), dan perkiraan realisasi produksi daging sapi/kerbau lokal sebanyak 462 ribu ton (rencana aksi Bukittinggi 2013).

"Dengan demikian, masih harus terjadi impor daging sapi, namun jumlahnya sangat tergantung upaya perbaikan sarana, prasarana dan infrastruktur transportasi," ujarnya.

Menurut dia, jika ada perbaikan sarana, prasarana dan infrastruktur transportasi maka daging yang diimpor untuk sapi bakalan setara daging (60 persen) sebanyak 27,19 ribu ton atau setara dengan 136.420 ekor, dan daging beku untuk horeka (40 persen) sebanyak 18,13 ribu ton.

Jika tanpa perbaikan sarana, prasarana dan infrastruktur transportasi maka daging yang diimpor untuk sapi bakalan setara daging (60 persen) sebanyak 68,33 ribu ton atau setara dengan 342.730 ekor, dan daging beku untuk horeka (40 persen) sebanyak 45,33 ribu ton.

"Tentu semuanya ada tantangannya, dan upaya nyata dalam mengurangi impor daging," ujar Syukur.

Para pengusaha Indonesia mengimpor sapi dari Brasil, Kanada, dan Selandia Baru. Negara lainnya yang ikut menjadi pilihan alternatif impor sapi untuk Indonesia yakni Irlandia, Meksiko, dan Uruguay, serta Australia.

Ia juga mengungkapkan tantangan dan hambatan pencapaian swasembada daging, yakni dari aspek infrastruktur, regulasi dan penyediaan bibit, indukan dan bakalan, serta aspek lahan, sumber daya manusia, dan pembiayaan.

Dari aspek infrastruktur yakni tidak tersedianya dan atau tidak terpenuhinya persyaratan bongkar-muat, transportasi ternak, fasilitas rumah pemotongan hewan (RPH) seperti peralatan, bangunan, dan pengelolaan.

"Kondisi tersebut menyebabkan penurunan bobot ternak sampai 35 persen, kematian dan cacat ternak selama transportasi lebih dari 10 persen, dan adanya penilaian negatif dunia internasional," ujarnya.

Sementara itu, dari aspek regulasi, masih terbatasnya peraturan perundang-undangan (termasuk perda) guna mendukung pengembangan peternakan di daerah.

Regulasi dimaksud antara lain mengatur pelarangan pemotongan betina produktif, pengembangan ternak di lahan perkebunan sawit, dan regulasi yang mengatur lahan untuk pengembangan peternakan.

"Dari aspek penyediaan bibit, indukan dan bakalan, Indonesia saat ini telah swasembada semen beku, namun jumlah akseptor inseminasi buatan (IB) masih kurang akibat mobilisasi bakalan maupun indukan ke sentra pengembangan, tidak lancar," ujarnya.

Sedangkan dari aspek lahan, antara lain belum optimalnya pemanfaatan potensi lahan khususnya padang penggembalaan di sentra-sentra produktif, dan belum optimalnya pemanfaatan kawasan konservasi hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk penanaman hijauan makanan ternak (HMT) dan pengembangan peternakan.

Dari aspek sumber daya manusia, yakni kurangnya tenaga penyuluh masih kurang dan SDM bidang peternakan dan kesehatan hewan (inseminator, PKB-ATR, wasbitnak, wastukan, medik, paramedik dan veteriner).

"Tentu saja aspek pembiayaan juga masih menjadi tantangan dan hambatan program swasembada daging di 2014, yang terlihat dari masih rendahnya serapan aksebilitas skim kredit pengembangan peternakan KUPS dan KKPE," ujar Syukur. (*)