Pesona Desa Wisata Adat Tenganan Pengringsingan Bali

id Desa Wisata Adat Tenganan,Kain Gringsing,Kabupaten Karangasem,Bali,Pariwisata Bali,wisata Bali,Desa wisata Oleh Pungkas Dwitanto/Widodo S Jusuf

Pesona Desa Wisata Adat Tenganan Pengringsingan Bali

Suasana Desa Wisata Adat Tenganan di Kabupaten Karangasem, Bali, Selasa (21-2-2023). ANTARA/Pungkas Dwitanto/wsj.

Karangasem (ANTARA) - Selain terkenal dengan panorama alam yang indah, Pulau Bali juga memiliki banyak wisata desa adat yang terkenal dengan tradisi dan budayanya yang masih terjaga. Salah satunya adalah Desa Wisata Adat Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali.

Berada di wilayah Bali bagian timur, Desa Wisata Adat Tenganan atau yang dikenal juga dengan Tenganan Pengringsingan merupakan salah satu tujuan wisata yang populer di Bali karena memiliki keunikan adat dan tradisi dari masyarakatnya.

Desa Adat Tenganan berjarak sekitar 50 kilometer dari Kota Denpasar, dapat ditempuh dalam waktu 1 jam menggunakan kendaraan bermotor. Desa Adat Tenganan dipimpin oleh Keliang Adat.

“Keliang itu pemimpin adat, kalau di sini ada enam pasang, bukan enam orang. Jadi suami dan istri, perempuannya itu juga termasuk pemimpin,” Kata I Putu Yudiana, salah seorang Pemimpin Adat Desa Tenganan.

Banyak wisatawan yang berkunjung ke Desa Adat Tenganan karena gaya bangunan rumah adat yang memiliki kesan lawas namun masih tetap berdiri kokoh sehingga mampu memberikan nuansa perdesaan yang asri dan membuat betah untuk berlama-lama di desa ini.

Selain itu, adat istiadat dan tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh nenek moyang juga masih dipertahankan dengan baik.

Desa adat Tenganan juga dikenal dengan nama Desa Aga yang memiliki arti sekelompok orang yang datang ke Pulau Bali lebih awal untuk menetap di desa pegunungan Bali yang kurang dipengaruhi oleh Kerajaan Majapahit.

“Bagi kami, Bali Aga itu kalau dibilang orang Bali asli sih enggak, kami sama-sama pendatang, cuma kami berada di era-era yang lebih dulu dan kami berada di sini sebelum datangnya era Majapahit,” kata Putu.

Bahkan hingga saat ini, saat teknologi mengalami perkembangan secara pesat, Desa Adat Tenganan masih memegang teguh dan mempertahankan awig-awig yang diwariskan pendahulunya.

Awig-awig merupakan norma hukum adat yang telah ditetapkan dan mengatur bagaimana anggota masyarakat berinteraksi untuk menjaga ketertiban dan ketenteraman bersama.

Keberadaan Desa Adat Tenganan, yang mampu melestarikan budaya dan adat istiadat khas Bali di tengah modernisasi, tentu memikat para wisatawan, seiring dengan mulai bangkitnya kembali pariwisata Pulau Bali usai kebijakan PPKM COVID-19 dicabut.

Desa Tenganan masih tetap bertahan pada era modern ini karena minimnya pengaruh dari luar. Kondisi tersebut menjadikan masyarakat Desa Adat Tenganan secara konsisten tetap menjunjung tinggi semua adat, budaya, dan tradisi Bali kuno yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Sebagai objek wisata yang memberikan edukasi mengenai budaya Bali, Desa Adat Tenganan memiliki banyak keunikan yang menarik untuk dipelajari, di antaranya tradisi mekare-kare, kerajinan ate, ukiran daun lontar, dan tentunya kain tenun gringsing yang cukup terkenal hingga mancanegara.

Kain tenun gringsing

Kain tenun gringsing merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh masyarakat Desa Adat Tenganan. Gringsing berasal dari dua kata yaitu “gring” yang berarti “wabah atau sakit” dan “sing” memiliki arti “tidak”. Jika kedua kata tersebut diartikan maka memiliki makna tolak bala.

Kain tenun ini dibuat menggunakan teknik dobel ikat, atau yang lebih dikenal dengan ikat ganda karena paten dan fungsi keduanya memiliki motif. Uniknya, hanya tiga negara di dunia yang menerapkan teknik ikat ganda ini, yaitu Indonesia (Tenganan), India (Patan), dan Jepang.

“Kain kan terdiri atas vertikal dan horizontal, kalau kain endek ini hanya salah satu yang bermotif. Akan tetapi, kalau kain gringsing itu vertikal dan horizontal, keduanya memiliki motif makanya dikenal dengan dobel ikat,” ujar Putu.

Kain tenun gringsing dikerjakan hanya menggunakan tangan tanpa adanya bantuan mesin pada setiap prosesnya. Menariknya, kain tenun gringsing yang telah berumur lama akan semakin bagus dan mahal harganya.

Untuk membuat satu helai kain gringsing dibutuhkan waktu hingga 2 tahun. Hal tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku dan proses penenunannya yang lama sehingga membuat kain tenun gringsing menjadi langka dan memiliki harga jual yang mahal.

Kain tenun gringsing pun sudah mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis (IG) dari Kementerian Perindustrian RI yang menyatakan bahwa kain tenun gringsing hanya diproduksi di Desa Adat Tenganan, Karangasem, Bali.

“Kami hanya mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis, belum bisa dipatenkan karena semua motif 27 kain itu penciptanya kan anonim, semuanya dari leluhur kami,” kata Putu.

Kain tenun gringsing kecil dengan ukuran 20 X 120 sentimeter dijual dengan harga Rp1,1 – Rp1,4 juta per helai dan untuk kain besar yang memiliki ukuran 58 X 160 sentimeter rata-rata dijual dengan harga di atas Rp20 Juta per helai.

“Saat ini kain gringsing banyak dibeli masyarakat lokal Bali karena tujuannya itu lebih banyak digunakan untuk ritual ibadah, tapi wisatawan mancanegara, juga kadang ada yang beli beberapa,” kata Putu.

Sejumlah kain gringsing terpajang di salah satu rumah perajin di Desa Adat Tenganan, Karangasem, Bali, Selasa (21-2-2023).
ANTARA/Pungkas Dwitanto/wsj.

Motif yang memiliki arti

Kain tenun gringsing yang memiliki tiga warna berarti melambangkan air, api, dan angin. Masyarakat Desa Adat Tenganan percaya bahwa jika ketiga elemen tersebut seimbang maka tidak akan ada musibah yang menimpa.

Adapun untuk kain yang memiliki dua warna, yaitu hitam dan putih melambangkan yin dan yang. Jika kedua elemen tersebut seimbang maka tidak akan ada nada yang mengalami kesakitan.

“Jadi motif-motif gringsing itu semuanya simetris, antara kanan dan kiri maupun atas bawah, itu motifnya sama, ada yang dua warna dan ada yang tiga warna. Kalau tiga warna itu merah, hitam, putih atau yang dua warna itu hitam dan putih,” kata Putu.

Uniknya, warna yang digunakan dalam kain gringsing berasal dari bahan alami. Kelir putih diperoleh dari warna dasar benang kapas yang kemudian direndam dalam minyak kemiri selama 42 hari hingga menjadi kekuningan. Untuk warna hitam berasal dari daun taum dan warna merah berasal dari akar mengkudu.

Proses pewarnaan kain tenun gringsing dilakukan secara berulang-ulang untuk mendapatkan hasil warna pakem yang telah ditetapkan secara turun-temurun. Teknik pewarnaan kain tenun ini juga terus dilakukan untuk melestarikan dan mempertahankan tradisi dari nenek moyang.

Baca juga: Kreativitas dan kualitas membawa produk UMKM tampil di KTT G20
Baca juga: Kain songket Sasak di antara budaya dan agama

Dari 27 motif kain tenun gringsing yang ada, kain lubeng merupakan yang paling terkenal dan banyak dicari. Kain lubeng menggambarkan pola permukiman warga Tenganan yang pada masa lampau merupakan prajurit. Permukiman tersebut memiliki sisi yang saling berhadapan dan memiliki empat pintu di penjuru mata angin.

“Pola kain lubeng juga dicetak pada uang Rp75 ribu. Di gambar uang Rp75 ribu itu empat pintu penjuru mata anginnya digambarkan dengan kalajengking sebagai simbol penjaga karena mereka tidak akan pernah menyengat jika mereka tidak diganggu dulu,” kata Putu.

Jadi suvenir KTT G20

Desa Adat Tenganan mendapat Anugerah Desa WIsata Indonesia (ADWI) 2021 Bangkit yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI. Sebanyak 120 kain tenun gringsing dipesan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno yang digunakan sebagai cinderamata pada perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang dihadiri berbagai kepala negara pada 15-16 November 2022.

“Pada saat itu, kami melakukan quality control, yang namanya kerajinan tangan kan tidak semuanya bagus. Jadi kami ada tim yang memeriksa ornamen-ornamennya, itu harus lengkap, karena ini kan hadiah untuk para kepala kegara,” kata Putu.

KTT G20 telah memberikan dampak positif bagi masyarakat terutama perajin kain tenun di Desa Tenganan. Pasalnya daya beli wisatawan meningkat setelah kain tenun gringsing khas Tenganan dijadikan sebagai cinderamata pada KTT G20 November 2022.

“Kalau kami, harapan ke depannya, kain gringsing harus dilestarikan karena itu salah satu kain yang harus kami pakai. Masyarakat juga harus mempelajari dan meneruskan tradisi yang sudah kami warisi serta menjaga filosofi kain gringsing ,” pungkas Putu.