Jakarta (ANTARA) - Transparancy International Indonesia (TII) menyatakan pandemi COVID-19 telah mengajarkan setiap negara untuk menyisihkan anggaran pendapatan untuk penanganan masa darurat jika diperlukan sewaktu-waktu.
“Kebijakan yang berfokus pada kepentingan ekonomi melambat proses pemulihan kesehatan di era pandemi COVID-19 karena menanggalkan keselamatan kesehatan masyarakat,” kata Peneliti TII Amanda Tan dalam Peluncuran Kajian COVID-19 TII di Jakarta, Senin.
Dalam penelitian yang TII lakukan selama tiga bulan, ia menuturkan, selama pandemi, baik pemerintah maupun masyarakat, berada dalam kondisi panik dan tidak mempersiapkan diri menghadapi masa darurat.
Hal itu menyebabkan munculnya sejumlah masalah, seperti terjadi pemborosan alat material kesehatan di Indonesia karena pengadaan ruang isolasi, alat material kesehatan, hingga obat di instalasi farmasi Dinas Kesehatan menjadi berlimpah karena lemahnya data real time dalam ketersediaan obat dan kebutuhan obat.
Selain itu, ditemukan terbuang vaksin yang rusak akibat distribusi yang tidak dilakukan sesuai dengan kebutuhan data di masing-masing daerah. Masalah ini nampak jelas dari minim ketersediaan data penerima vaksin COVID-19.
Belum lagi ditemukan adanya praktik jual-beli vaksin penguat pada pertengahan tahun 2021 oleh oknum yang mempunyai akses kuat terhadap sentra vaksin. “Belum lagi tes PCR di mana manajemen kolaborasi dan partnership (kemitraan) bersifat privat-publik. Dominasi privatisasi yang besar, hanya berujung pada profiteering yang besar oleh pihak swasta,” katanya.
Amanda turut menemukan sejak diberlakuka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020, potensi mengembalikan kekuasaan absolut pembentukan perundang-undangan yang dilakukan presiden semakin kuat.
Akibatnya dalam salah satu pasal yakni pasal 28, keterlibatan DPR dalam pembuatan APBN ditiadakan. Perubahan APBN 2020 menurut Perpu itu hanya diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020. Padahal APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara, yang mempunyai partisipasi warga di dalamnya yang diwakili DPR.
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 itu berimplikasi pada pergeseran kewenangan dari sisi refocusing dan realokasi anggaran di pemerintah daerah. Dikarenakan kebijakan cenderung berubah-ubah dalam waktu dekat, maka barang atau peruntukkan yang digeser dalam anggaran daerah itu pun tidak diketahui oleh DPRD.
“Partisipasi masyarakat dalam hal mekanisme pengawasan dalam penanggulangan bencana, dalam konteks merespons penanganan pandemi, pemerintah justru terkesan menutup informasi dan ruang partisipasi warga dalam melakukan pengawasan publik,” ujarnya.
Maka dari itu, Amanda menyarankan jika proses pembuatan kebijakan memerlukan proses kolaborasi dengan masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap kesehatan publik, sehingga bisa bersifat transparan dan terbuka.
Menurutnya, pilar transpirasi perlu ditegakkan dengan pelibatan masyarakat sipil di dalam desain kebijakan COVID-19. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan ruang partisipasi yang tidak semu pada masyarakat dalam melakukan monitoring pembuatan kebijakan, pengadaan dan anggaran COVID-19.
Baca juga: WHO banyak berkontribusi untuk kesehatan di Indonesia
Baca juga: IDI beberkan 2.172 tenaga kesehatan meninggal akibat COVID-19
Salah satunya adalah mengetahui secara real time berapa anggaran yang disisihkan untuk masa darurat dan apa saja rincian keperluannya, agar pemborosan tidak terjadi.
“Misalnya dalam program penanggulangan ini juga melibatkan masyarakat dengan mengakomodasi gerakan masyarakat sipil yang sudah membangun kanal pelaporan warga secara responsif,” ujar anggota Lapor COVID-19 itu.