Malapetaka Korupsi di Ibu Pertiwi

id Korupsi

Malapetaka Korupsi di Ibu Pertiwi

Ilustrasi - Korupsi (Ist)

Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri
"Saya mau mengungkapkan satu hal penting, yang menjadi akar masalah banjir di Jakarta ini adalah korupsi," ujar Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, pada akhir Oktober 2014.

Mantan Bupati Belitung Timur yang akrab dipanggil Ahok ini melanjutkan, sungguh ironis karena pemerintah DKI Jakarta dengan APBD Rp72,9 triliun tidak bisa mengatasi banjir, jika bukan disebabkan sejumlah perangkat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) gemar `bermain-main` anggaran.

`Bermain-main` dengan uang anggaran yang notabene adalah uang negara, seakan menjadi `candu` yang menghipnotis para pemegang kekuasaan di Ibu Pertiwi ini. Praktik korupsi pun, sesungguhnya bukan wabah penyakit baru, karena sudah tumbuh dan berkembang sejak zaman penjajahan. Praktik ini lantas menjangkiti pula oknum pejabat pribumi era Orde Lama, karena tergiur gelimang kehidupan mewah di atas tumpukan pundi-pundi uang.

Memasuki Orde Baru, bau apek korupsi kian santer tercium. Meski telah dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi, namun kinerja tim tidak berjalan maksimal karena tidak ada dukungan kerja sama dari pemerintah. Tidak ayal, ketidakmaksimal ini menorehkan catatan Transparansi Internasional bahwa sejak tahun 1998, Indonesia masuk daftar sebagai 10 besar negara terkorup di dunia.

Meski rezim kemudian tergeser kepada Orde Reformasi, nyatanya korupsi tak jua berhenti, dan justru makin menjadi-jadi. Pada era reformasi, Presiden SBY telah menyerukan, "Saya akan berada di garda terdepan untuk pemberantasan korupsi." Realitanya, seruan itu bak bergaung di ruang hampa, dan pejabat negara silih berganti ditangkap karena terlibat kasus korupsi.

                                     Bocornya Uang Negara

Pengamat politik dari Nusa Tenggara Barat Lalu Moch Asri SIP menyebutkan, korupsi di Indonesia telah menjadi penyakit kronis yang terjadi di semua lini, mulai dari hulu sampai hilir. Akibatnya, kesejahteraan rakyat tidak menjadi prioritas utama lagi. Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan masih banyak dijumpai, karena uang negara `bocor` dan mengalir deras ke kantong oknum pejabat atau kelompok tertentu.

"Padahal potensi kekayaan alam Indonesia itu berlimpah, dan kalau dikelola secara benar, mampu mengangkat rakyat dari jerat kemiskinan. Apalagi, dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyatakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kenyataannya, karena banyak aliran dana yang bocor, jadi masyarakat tidak kunjung dapat termakmurkan," kata Moch Asri.

Dampak korupsi yang membuat APBN bocor, mengakibatkan kemiskinan masih menjadi awan gelap yang membayangi kehidupan masyarakat. Kemiskinan, membuat banyak anak-anak putus sekolah karena ketiadaan biaya untuk melanjutkannya.

Berdasarkan data BPS tahun 2013, rata-rata nasional angka putus sekolah usia 7-12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182.773 anak; usia 13-15 tahun sebanyak 2,21 persen, atau 209.976 anak; dan usia 16-18 tahun mencapai hingga 3,14 persen atau 223.676 anak.

Jika memang para pejabat itu mengklaim diri sebagai abdi negara dan rakyat, tentu memiliki nurani untuk tidak melakukan penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi atau golongan, supaya masyarakat tidak lantas terabaikan.

Tangis rakyat yang menjerit kelaparan, anak-anak pengemis berkeliaran di jalanan meminta belas kasihan, korban bencana alam merintih tatkala rumahnya rubuh dan menunggu-nunggu pemerintah memberi uluran bantuan kemanusiaan, ribuan kilometer jalan penyambung perekonomian warga rusak, adalah representasi penderitaan rakyat yang seharusnya dapat ditanggulangi jika saja uang negara tidak mengalir ke kantong `siluman`.

"Kalau masih banyak rakyat kelaparan dan anak-anak putus sekolah tanpa harapan, apa jadinya masa depan negeri kita ini? Mana wujud cinta pada negeri jika uang rakyat terus-terusan digerogoti? Sudah saatnya ada kesadaran dan ketegasan menghadapi korupsi, dengan tindakan yang tegas dan menghukum seberat-beratnya supaya rakyat tidak sengsara dan ada efek jera bagi pelakunya," ujar Moch Asri.

Untuk pemberian efek jera bagi pelaku korupsi, Indonesia bisa `study` banding di Tiongkok, di mana pelaku korupsi mendapat ancaman hukuman mati di tiang gantungan. Ketegasan ini terbukti cukup efektif hingga menekan secara drastis angka korupsi di negeri itu. Ancaman tiang gantungan itu, nyatanya cukup ampuh dan membuat pejabat yang berkuasa tidak berani lagi `main-main` menjadi pelaku korupsi.

Sementara itu, Indonesian Corruption Watch (ICW) mendorong kepolisian untuk meningkatkan perannya dalam memberantas korupsi hingga di daerah-daerah. Sesuai data, mayoritas pelaku tindak pidana korupsi merupakan pejabat di lingkungan pemerintah daerah. Baik pada tingkat kabupaten, kotamadya, maupun provinsi.

Koordinator Divisi Hukum ICW Emerson Yuntho mengatakan, peningkatan peran itu amat perlu dilakukan, mengingat Polri mempunyai sumber daya manusia yang berlimpah, dan menyebar sampai ke berbagai wilayah di Indonesia.

"Peran Polri dalam memberantas korupsi semestinya makin dioptimalkan. Hal ini mengingat uang negara yang berhasil diselamatkan Polri pada 2013 sebesar Rp911 miliar dan telah menyelesaikan sebanyak 1.343 kasus korupsi di seluruh Indonesia," ucap Emerson.

                                         Pengharapan pada KPK

Demi memberantas langgengnya kekuasaan para koruptor dan menyelamatkan uang negara supaya tidak terus-menerus menjadi `kue` manis yang diperebutkan, akhirnya tahun 2003 dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tujuan pembentukan KPK untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas kasus korupsi di Indonesia. Pendirian KPK didasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kehadiran KPK, membuat rakyat memiliki pengharapan, supaya mengguritanya tindak korupsi dapat diatasi. Dan, terbukti kehadiran KPK tidaklah sia-sia. Pada saat memberikan keterangan pers akhir tahun lalu, pihak KPK memberi pernyataan, sepanjang 2013 telah terjadi peningkatan penanganan jumlah perkara korupsi. Dari 49 perkara yang ditangani pada 2012, tahun 2013 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 70 perkara.

"Selama tahun 2013 KPK telah menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp1,196 triliun, untuk dimasukkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari penanganan tindak pidana korupsi dan gratifikasi," kata Ketua KPK Abraham Samad.

Pengharapan rakyat untuk pemberantasan korupsi tidak hanya tertuju pada KPK. Terpilihnya Presiden Jokowi pun menjadi sandaran dan angin segar supaya tindak korupsi di segenap lini, dapat diberangus dan dibersihkan dari Indonesia.

Apabila dibiarkan korupsi terus meraja lela, bukan tidak mungkin negeri ini perlahan-lahan karam. Padahal negeri ini dahulu kala, disebut-sebut sebagai negara subur makmur yang terkenal dengan slogan `ijo royo-royo gema ripah loh jinawi`, dan menjadi perebutan bangsa-bangsa asing yang ingin merasakan legitnya rempah Indonesia.

Namun, kini setelah 69 tahun Indonesia merdeka, segenap kekayaan Indonesia tidak akan ada artinya jika menguap ke rekening siluman pejabat, serta rakyat dibiarkan meratapi nasib dan merana kelaparan. Jika keadaan ini dibiarkan, rasanya sia-sia saja Sukarno - Hatta dan jutaan pejuang mempertaruhkan jiwa-raga demi kemerdekaan, apabila tetap saja sebagian besar rakyat Indonesia masih teringsut-ingsut di bawah kemiskinan.

"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri," kata Presiden Sukarno sebagai prediksi tantangan bangsa ke depan, yang diucapkan puluhan tahun silam.

Prediksi ini tidak meleset, karena pelaku korupsi memang dilakukan oleh warga Indonesia sendiri, yang terlahir, menapakkan kaki, tumbuh serta dibesarkan dengan hasil bumi Indonesia, namun seperti tidak memiliki nurani dengan tega mengeduk uang negara yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat.

Barangkali, pepatah `ayam mati di lumbung padi` akan terpatahkan, seandainya abdi negara dan masyarakat bercermin pada Presiden Uruguay Jose Mujica, yang menyumbangkan 90 persen gajinya untuk rakyat miskin. Setiap bulan, Mujica mendapatkan gaji sebesar US$ 12 ribu atau setara dengan Rp116 juta. Mujica hanya mengambil Rp7,7 juta dari gajinya, sama seperti rata-rata penghasilan rakyatnya, untuk biaya hidupnya bersama sang istri.

"Ada masa bertahun-tahun ketika aku cukup bahagia dengan hanya punya sehelai tikar," kata Mujica, dengan ekspresi sarat kesederhanaan.

Seandainya pemegang kekuasaan di Indonesia memiliki pemikiran sesederhana itu, barangkali malapetaka korupsi tidak menjadi warisan `penyakit` kronis yang berlangsung turun-temurun dan sambung-sambung antargenerasi di republik ini.